jump to navigation

Wiratha Parwa 5: Raden Utara menjadi kusir Wrahatnala, sang wandu/banci yang menjadi senopati perang Mei 31, 2008

Posted by Mujiono Sadikin in Cerita Wayang Mahabarata, Yang Aku Senangi, Yang Sayang Dilupakan.
trackback

Di tengah alun – alun Wiratha, Raja Matswapati diringkus Prabu Susarman dan menjadi bulan – bulanan. Raja Matswapati dihajar dan dipermalukan, menjadi tontonan bala tentara Trihargao dan Hastina. Kabar ini didengar dan diketahui Wijo Kangka. Bergegas Wijo Kangka menemui adiknya yang tertidur di pasar kerajaan, Jagal Abilawa.

Dengan sapa lemah lembut yang menjadi pembawaannya Wija Kangka membangunkan adikknya.

”Bilawa..adikku yang sentosa badannya, mengapa kamu enak – enak tidur di pasar sementara kerajaan Wiratha dilanda peperangan dan sekarang di ambang kehancuran. Tidak pantas dan bukan pada tempatnya, kamu sebagai warga kerajaan seolah tanpa ada rasa peduli terhadap kondisi negara ini. Bilawa.., bangunlah adikku. Kerahkan tenaga dan keahlianmu untuk cawe – cawe menyelamatkan Kerajaan….”

Bilawa pun bangun.

”Waa….aku tidak tidur…., biarpun mataku terpejam batinku terjaga. Aku tahu semua apa yang terjadi sampai dengan saat ini. Tapi aku wegah, aku tidak sudi membela Raja dan pemerintahannya yang tidak peduli dengan nasib rakyat yang dipamonginya. Tanpa disuruh, aku akan membela Raja dengan raga dan nyawaku jikalau Rajanya mengerti kesulitan dan penderitaan rakyatnya. Tapi apa yang terjdi sekarang ??? Pemerintah dan elite kerajaan hanya memikirkan diri dan golangannya. Mereka hanya mencari jalan gampang untuk menyelesaikan permasalahan. Mereka tahu rakyat mengalami kesulitan, tetapi mereka malah menambah kesulitan rakyatnya. Mereka tidak mau dan tidak mampu mengendalikan harga – harga kebutuhan pokok rakyatnya. Bahan pangan semakin mahal, persediaan sangat terbatas dan sulit dicari. Bahan bakar semakin langka…..Harganya naik terus. Sementara para pedagang spekulan bermain sesuka hati dengan menangguk untung tak kepalang tanggung. Para penasehat kerajaan dan pengawal rakyat di dewan pertimbangan kerajaan bersikap seperti anak kecil. Yang mereka pikirkan hanya kenaikan gaji, peningkatan tunjangan dan pelesiran ke negara tetangga dengan menggotong sanak famili atas biaya negara. Pemerintahan macam apa seperti ini ???? Apa yang harus dibela kalau sudah seperti ini ???. Biarlah Wiratha hancur, mungkin lebih baik begitu. Bisa jadi lebih baik nasibnya kalau menjadi jajahan negara lain. Daripada diperintah bangsa sendiri, tetapi kenyataanya kebanyakan rakyat semakin hari semakin miskin. Untuk apa diperintah bangsa sendiri kalau pemerintah hanya berpihak kepada yang kuasa dan yang punya harta saja ?? Kalau aku bela keadaan ini, maka yang aku bela hanyalah kepentingan mereka semata. Apa Kakang mau menanggung dosaku karena membela Pemerintahan yang lalim itu ??? Biarlah Kakang, negara ini hancur. Kita bisa meninggalkan negara ini kalau kita mau”

”Aduh…adikku, Kakang mengerti apa yang kamu pikirkan dan rasakan. Kakangpun merasakan hal yang sama. Tetapi adikku….., saat ini bukan hanya Raja dan pemerintahan yang sedang terancam bahaya. Rakyat kebanyakan lah yang lebih menderita. Para petinggi kerajaan dan pedagang besar dengan mudah menyelamatkan diri adikku. Sebagian mereka sudah mengungsi, meninggalkan kerajaan. Sementara rakyat kecil, petani, nelayan, pedagang pasar tak kuasa menahan derita dan tidak ada kemampuan untuk menghindar dari amukan tentara Tri Hargo dan Hastinapura. Mereka kehilangan harta yang tidak seberapa, terlebih lagi mereka kehilangan rasa aman dan kedamaian yang selama ini mereka rasakan, sejelek apapun pemerintahan mereka saat ini. Bilawa…., kamu juga harus ingat bahwa hampir setahun kita numpang di Wiratha, bukan hanya di kerajaan tetapi kita juga menumpang di rakyatnya. Aku sebagai lurah pasar, sekecil apapun merasakan subsidi pedagang pasar itu sebagai kompensasi atas jasaku sebagai lurah. Adikku, kamu sendiri sebagai jagal peternakan sapi dan kerbau, juga merasakan cipratan rejeki pedagang ternak dan daging kota ini. Oleh karena Bilawa, kok ya ironis kalau kita hanya enak kepenak melihat penderitaan para kaum bawah ini. Bilawa…, baiklah kalau kamu tidak sepakat dengan pendapat Kakang ini, biar Kakang yang maju ke medan perang dengan segala keterbatasan yang Kakang miliki. Teruskan istirahat dan tidurmu dengan nyaman..”

”Waa………..ya sudah, sudah….Dari dulu sampai nanti mati aku menghormati Kakang sebagai ganti Bapakku di dunia. Karena itu, mohon doa restu, biar aku labrak para perusuh kerajaan Wiratha. Aku pamit!”

Bilawa menuju medan perang, dengan sekali terjang Prabu Susarman dapat dikalahkan Bilawa dan tewas di tengah alun – alun Wiratha. Prabu Matswapati dapat dibebaskan Bilawa.

Saat bersamaan dengan ditawannya Prabu Matswapati oleh Prabu Susarman. Mengetahui pertahanan Kerajaan yang sudah hampir jebol, Utara yang seharusnya mempertahankan kerajaan dan keputren bergegas memasuki keputren untuk mengajak adiknya melarikan diri, tetapi ditolak oleh Dewi Utari. Di keputren selain Dewi Utari dan danyang – danyangnya juga ada Wrahatnala (yang sebenarnya adalah Raden Arjuna) sebagai pengajar tari dan karawitan.

”Utari….adikku, sekarang kondisi kerajaan sudah sangat genting dan nyaris jebol. Pasukan kerajaan Wiratha sudah tidak bisa bertahan lagi akibat serbuan dari kedua sisi kerajaan. Karena itu Utari, segeralah bergegas kita melarikan diri dari kerajaan…”

”We lah dalah..Kakang, mungkin memang pasukan kerajaan sudah kocar – kacir dan terpukul mundur. Tetapi khan masih ada Kakang Utara, senopati andalan Wiratha yang masih segar bugar. Mengapa Kakang tidak menghadapi perang itu ??”

”Utari, pasukan musuh terlalu kuat untuk dihadapi, pasukan dari dua kerajaan besar yang bersekutu dengan persenjataan lengkap tidak akan tertandingi adikku. Oleh karena itu daripada kita tertawan atau gugur, sebaiknya segera kita melarikan diri.”

”Ooo…, jadi Kakang Utata takut ? Baiklah…silakan minggir aku akan maju sebagai senopati kalau begitu. Utari tidak akan takut mati untuk membela kehormatan dan keutuhan kerajaan, meskipun aku hanya seorang wanita. Setidaknya akupun pernah belajar beladiri dan strategi perang.”

Wrahatanala yang mengikuti percakapan kakak adik itu menengahi.

”Permisi putri dan Raden. Rasanya tidak pantas kalau Putri Utari maju perang sementara Raden Utara sabagai senopati kerajaan hanya diam menunggu atau bahkan melarikan diri”

”Hey…Wrahatnala, ini bukan perkara berani atau tidak berani. Kerajaan sudah hampir runtuh, sementara kekuatan musuh sangat besar. Lagipula kalau aku maju perang, tidak ada lagi kusir yang bisa mengendalikan kereta perangku.”

”Mohon maaf Raden, kalau saya yang menjadi kusirnya Raden dalam peperangan ini, bagaimana ?”

”Wee…lah, kamu khan hanya seorang wandu, banci yang hanya bisa mengajar tari dan karawitan. Mana bisa kamu menjadi kusir kereta perang??”

”Mudah – mudahan bisa Raden, setidaknya saya berani mempertaruhkan nyawa di medan perang ini. Saya dulu pernah menjadi kusir kereta perang Raden Arjuna, penengah pandawa itu. Jadi saya punya pengelaman dalam hal itu”

”We…la dalah, apa benar kamu pernah menjadi kusir Arjuna, cucuku itu ??”. Dilihat dari silsilah Para Pandawa sebenarnya adalah Cucu Buyut Prabu Matswapati dan dengan demikian adalah cucu Raden Utara. Saya akan susulkan silsilah nya ini lain kali (kalau sudah ingat atau menemukan…maklum sudah lupa – lupa ingat).

”Benar Raden, karena itu mari kita coba saja kalau Raden memang berani menjadi panglima perang menghadapi Kerajaan Trihargo ini”

Sebenarnya Raden Utara ngeri hati untuk terjun dalam peperangan kali ini, mengingat gabungan tentara dari dua kerajaan penyerbu rasanya sudah tidak mungkin dikalahkan lagi. Apalagi Prabu Matswapatipun sudah menjadi tawanan Prabu Susarman. Namun karena rasa malu kepada adik dan abdi keputren, ditekatkan hatinya untuk berperang.

Syahdan di medan perang dengan dikusiri oleh Wrahatnala, Raden Utara tidak mampu menunjukkan keahlian berperang layaknya Senopati Kerajaan disebabkan perasaan ngeri dan takut melihatan lautan pasukan musuh yang tak terkira banyaknya. Konsentrasinya buyar. Melihat gelagat ini, maka Wrahatnala pun mengusulkan untuk ganti posisi.

”Wrahatnala, benar kamu bisa menjadi senopati perang ini?”

”Mudah – mudahan Raden, asal Raden Utara bersedia menjadi kusirnya”

”We lah…la masak aku jadi kusir, aku ini khan putra dan senopati Kerajaan. Masak aku menjadi kusirmu seorang banci pengajar tari?? Yang benar saja. Aku tidak sudi ….!!!” Masih dengan congkaknya Raden Utara mendebat.

”Benar Raden, tetapi sekarang ini di medan perang, bukan di Keputren. Dan kali ini saya sebagai Senopati karena Raden tidak mampu. Di medan perang ini tidak ada Putra Raja atau abdi dalem keputren. Yang ada hanyalah panglima perang dan kusir kereta. Kalau raden tidak bersedia menjadi Panglima Perang maka pilihannya menjadi kusir. Atau kita kembali ke keputren dengan Raden Utara menanggung malu dihadapan adinda dan danyang-2 keputren lainnya??”

”Hemmm…ya sudah, sudah, biar aku jadi kusir saja kali ini. Tapi jangan bilang siapa – siapa kalau aku menjadi kusir lo ya…”

”Sendika dawuh Raden..”

”Ayo naikklah kereta, biar aku kusirnya”

”Tapi Raden, saya tidak membawa senjata apapun. Saya perlu senjata untuk menghadapi musuh yang bersenjata lengkap itu. Mari kita ke tegalan samping alun – alun kerajaan untuk mengambil perlengkapan perang dulu”

”O begitu, baiklah terserah kamu maunya gimana”

Sampailah mereka di tegalan sebelah timur alun – alun yang menjadi arena pertempuran. Di tegalan yang rimbun dengan semak belukar dan tanaman basah itu terdapat salah satu pohon asam dengan daun yang lebat. Di pucuk tertinggi pohon asam itu tergantung bungkusan putih menyerupai pocong. Bungkusan itu berisi senjata – senjata andalan Arjuna di antaranya Pasopati dan Pulanggeni yang berupa senjata panah. Kedua senjata ini unik dan mudah dikenali sebagai senjata andalan Arjuna, hanya Arjuna yang punya.

”Raden Utara, di pucuk pohon asem itu Raden lihat tergantung pocong kain putih, tolong Raden memanjat dan mengambilnya buat saya”

”We lah…kurang ajar. Aku ini Putra Raja lo, Senopati Kerajaan. Masak suruh pethekelan menek pohon asam..Ah yang benar saja kamu Wrahatnala…”

”Raden Utara, mohon diingat. Sekarang saya senopati perang dan Raden adalah kusir. Tugas Kusir adalah melayani dan mengikut perintah Senopati selama di medan perang. Sekarang Sang Senopati meminta kusir untuk mengambil bungkusan senjata di pucuk pohon asam itu, bagaimana ? Kalau tidak mau, ya kita kembali ke keputren.”

”Walah, kena lagi…Ya sudah aku panjat, tapi kamu jangan bilang siapa – siapa kalau aku manjat pohon asam buat kamu ya.”

”Sendika dawuh Raden”

Raden Utara mendapatkan pocong bungkusan kain putih. Dibukalah pocong itu oleh Wrahatnala.

”Hey…..Wrahatnala, aku kenal betul senjata – senjata itu. Pasopati, pulanggeni, dan keris itu……….Itu punyanya cucuku Arjuna. Dari mana kamu mendapatkannya, kamu pasti mencuri nya ya. Hayo ngaku, kalau tidak mengaku biar aku sendiri yang menghajar kamu saat ini juga di tempat ini juga”

”Sabar Raden, Eyang Utara….Sebenarnya saya adalah cucunda Arjuna..” Berceritalah Wrahatnala mengenai dirinya yang sebenarnya, alasan penyamaran yang dimulai dari permainan dadu Puntadewa dengan Duryudona, sampai dengan dimana saja saudara – saudaranya yang lain saat ini. Hanya saja, Wrahatanala memohon agar rahasia ini disimpan baik – baik sampai batas waktunya yang tinggal 3 hari ke depan.

”Waduh cucuku, ternyata kalian sangat dekat dengan kami. Kok kami tidak tahu ??? Waduh…jadi Kangko itu, Bilawa itu, kinten pangsen itu??. Wah yo kok kami ini bodho sekali, kami ini keterlaluan telah menyia – nyiakan kalian. Jadi Salindri itu Drupadi. Waduh Drupadi…Drupadi, hampir saja Rama prabu membunuhmu dengan tangannya sendiri…..Terimakasih Gusti, Kamu telah menyelamatkan kami dari kecerobohan dan kebodohan ini. Ya sudah Wrahatnala, karena kamu Arjuna. Mari cucuku, aku kusiri kereta perang ini. Aku jadi mantap sekarang mengendalikan kereta dengan panglima perang kamu cucuku”

”Mari, Eyang. Permisi saya naik keretanya”

”Ayo, silakan naik. Kamu senopati sekarang, aku kusirnya.”

Situasi di medan perang.

Di sisi depan istana kerajaan, Bilawa berhadapan dengan pasukan Tri Hargo, meskipun Raja Susarman sudah tewas, Tri Hargo masih memiliki ratusan senopati dan ribuan pasukan perang. Bilawa mengamuk dengan gada rujak polo. Bilawa dibantu separo kekuatan Wiratha yang menjaga perbatasan belakang kerajaan. Setelah sempat kehilangan harapan karena Raja Wiratha tertawan, kali ini Pasukan Wiratha kembali mendapatkan semangat dan kekuatannya. Kelihatannya peperangan mengarah kepada kemenangan pasukan Wiratha. Perlahan, setapak demi setapak pasukan Tri Hargo mundur ke garis perbatasaann belakang istana.

Di sisi depan istana, Pasukan Hastina yang dikomandani oleh Prabu Basukarno semakin mendekati pintu gerbang istana. Separo pasukan Wiratha mencoba bertahan semampunya. Dengan sorak sorai kemenangan barisan Hastina sudah bisa menjangkau gerbang benteng istana dengan anak panah.

Sampai Wrahatnala menunjukkan kesaktiannya dalam membelah barisan musuh dan melepas anak panah yang mengacaukan pertahanan musuh. Satu anak panah dilepaskan, sekejap kemudian berubah menjadi hujan ribuan anak panah di udara. Barisan perang Hastina dibuat kalang kabut dalam sekejap. Banyak diantara para prajurit tidak siap menghadapi serangan semacam ini. Dalam sesaat ratusan prajurit tersungkur . Kehebohan dan kepanikan melanda pasukan penyerbu.

Di sisi lain, barisan Wiratha serasa mendapat second wind. Mereka bersorak – sorak menyambut senopati baru. Semangat mereka bertambah dan berlipat untuk terus merengsek mendesak mundur musuh. Pasukan Hastina mencoba mempertahankan wilayah yang sudah mereka kuasai. Namun hujan panah terasa tidak akan berhenti. Mereka melindungi diri dari hujan panah dengan tameng menutup kepala mereka. Namun dari depan, pasukan berkuda wiratha dengan tombak – tombak dan gada ditangan maju, menerjang, menyambar, memukul dan membabat.

Terkejud Senopati Karno melihat situasi ini, maka diapun mengerahkan kesaktiannya. Dilepaskan lah anak panah oleh Karno. Seketika pula, hujan anak panah dari Wrahatnala berhenti. Berganti sora sorai ada di pihak Astina. Kembali lagi Wrahatnala melepaskan dan membuat hujan panah. Senopati Karno berniat menangkis, namun dari kejauhan tingkah Sang Senopati terlihat oleh Wrathatnala, Secepat kilat Wrahatnala melepaskan anak panah tepat menyambar Busur Panah Senopati Basukarno, patah berkeping dua..

Sebenarnya ini adalah pertanda bagi Basukarno mengenai siapa sebenarnya yang dihadipnya. ”He.he…” Prabu Basukarno tertawa dalam hati. Dia paham siapa di seberang sana yang dihadapinya. Tak lain adalah adik sepergurannya dalam olah anak panah, Arjuna. Arjuna juga adik kandung seibu dari Basukarno.

Basukarno tersenyum dan mengguman ”He..he….he…Saya tahu siapa anak ini? Hmm iya adikku, aku tahu ternyata kamu. Hmm bagus, aku lega sekarang. Ternyata kalian adik – adikku Pandawa selamat dan baik – baik saja. Kalau kakang tega, Kakang bongkar rahasia kalian yang hanya tinggal dua hari ini. Maka habislah kalian. Tapi kalian tahu, bagaimanapun Kakang tidak akan mencelakakan kalian dengan cara nista seperti ini. Ya sudah Arjuna, kali ini cukup sampai di sini kita bertarung. Ada masanya kita akan bertemu lagi, mungkin di perang besar nanti. Aku tunggu adikku ”.

Setelah melepaskan anak panah penyapu hujan panah Wrahatnala, Prabu Basukarno memerintahkan pasukan Astina mundur. Maka pasukan Astina mundur kembali ke Kerajaan Astina. Tinggal lah pasukan Wiratha yang bersorak karena kemenangannya ini. Di belakang istana, pasukan Tri hargo pun tidak mampu mempertahankan pukulan balik dari Bilawa. Keadaan mereka lebih parah, kehilangan Raja dan puluhan senopati.

Maka penyerbuan terhadapa Wiratha dari kedua sisi, gagal.

Komentar»

1. maspei - Juni 5, 2008

mas, saya numpang baca ya mas…
tapi ada yang menggelitik saya je mas….
setahu saya pulanggeni adalah keris bukan panah…
atau memang versinya lain ya

2. anikeren - Juni 6, 2008

@Maspei: Matursuwun perhatiannya, Syukur-2 koreksinya. Emang sebenarnya ini cuman seingetan saya saja hasil nonton wayang. Setelah saya inget-2, bener mas pei. Itu adalah Keris. Kalau saya perhatikan emang ada beberapa versi untuk cerita pelengkap (bukan talur utamanya). Seperti misalnya cerita karno tanding, kalau versi nya Ki Narto Sabdo untuk Prabu Goa Barong, yang namanya Hardo waliko beda dengan versinya Ki Manteb a.l. :
1. Riwayat orang tuanya : Ki. Mantep, nama ortunya Nogo Gombang. Ki Anom, bukan itu, saya inget-2 dulu :). Menurut Ki Mantep ortunya hanya disebutkan bapaknya yang mati oleh Arjuna, sementara menurut Ki Narto Sabdo, kedua orang tua Hardo Waliko adalah saudara kandung, dan mati sampyuh karena harjuna.
2. Tewasnya Hardo Waliko, Ki Manteb –> mati di kuru setra medan pertempuran oleh panah harjuna. Ki Narto Sabdo –> tewas di hutan bersama prajuritnya, bukan di medan perang baratayuda.

Jadi sekali lagi matursuwun koreksinya. Juga saya perlu tambahan, bahwa dialog-2 di tulisan di atas tidak sepenuhnya saya ambil dari Ki Dalang. Ya improvisasi saya saja, dengan mencoba, menyesuaikan kondisi kita sekarang. Tapi mudah-2an alur cerita utamanya tidak melenceng. Niatnya hanya satu mencoba ikut melestarikan budaya sendiri, meski hanya sebatas menonton dan ngeblog.

Salam


Tinggalkan komentar