jump to navigation

Karno Tanding[2], Berita tewasnya Pandita Druno karena termakan isu tewas di medan laga Juli 18, 2008

Posted by Mujiono Sadikin in Cerita Wayang Mahabarata, Yang Aku Pelajari, Yang Aku Senangi.
2 comments

[Cerita Karno Tanding ini, sebagian saya  ambil dari audio yang dapat diunduh dari http://www.javawayang.org. Beda dengan pagelaran di TMII yang saya lihat lalu, KarnoTanding yang saya nikmati dari http://www.javawayang.org ini dibawakan oleh  Ki. Narto Sabdo, guru Ki Manteb Sudarsono. Kombonaso ini saya lakukan  karena saya tidak sempat menikmati pagelaran komplet di TMII yang lalu. Terimakasih buat maspei selaku administrator javawayang.org. Salut atas usaha dan kesungguhannya “nguri-uri” budaya Jawa Wayang  sehingga bisa dinikmati di manapun kapanpun melalui jejaring Internet. Dan bagi peminat wayang tentu saja lebih nikmat dan khidmat menikmati Karno Tanding yang diunduh dari http://www.javawayang,org itu daripada melototin oret – oretan saya yang nggak genah di bawah ini]

Kartomarmo mulai menyampaikan kabar yang dibawanya…

“Sinuwun mohon maaf, hari ini seperti yang Paman Sangkuni perintahkan hamba mendampingi Sang Senopati Agung Bapa Begawan Druna maju ke medan laga Baratayudha….”.

Dengan gaya dan cengkok suara yang khas, Sengkuni menyela

“Iya, kowe paman kasih pekerjaan enteng Kartomarmo, mendampingi Senopati Agung yang jelas tidak terkalahkan…”

Inggih Paman…”

“Kartomarmo, teruskan ceritamu adikku”, perintah Prabu Duryudono

“Terlaksana Bapa Druna maju sebagai senopati perang Astina. Pandawa menggunakan konfigurasi pasukan berupa bulan sabit, Permadi di sisi kiri, Bratasena di sisi kanan. Keduanya sebagai ujung konfigurasi bulan sabit itu. Bapa Druna menggunakan konfigurasi Bangau Terbang, dengan pucuk perang Bapa Druna sendiri. Terbukti gunjingan dunia bahwa Bapa Druna tanpa tanding. Tanpa waktu lama barusan pasukan bulan sabit pandawa diterjang, diterabas seolah tanpa perlawan. Konfigurasi pasukan wulan tinanggal itu kocar – kacir, morat marit terkena badai panah dan lautan api dari Sang Pandita Sukalima itu”.

Sangkuni “He..he…he…, ya sudah paman perkirakan kok ngger. Kalau Bapa Druna bertindak lama mijit buah ranti, dalam sekejap Pandawa akan takluk..terus lanjutannya gimana le ??”

”Melihat pasukannya kocar – kacir, hamba lihat Arjuna bertindak. Busur panah disiapkan, panah andalannya kiai Pasopati dihunus, dipasangkan di busur panah siap dilepaskan ke arah Bapa Druna. Tiba – tiba gemetar tangan Arjuna, keringat dinginnya keluar, otot dan tulangnya seperti di-lelesi. Tanpa daya, Arjuna lemas ambruk dan semaput…”

Duryudonoa ”Ha..ha…wah harusnya aku ada di sana. Aku akan bertepuk tangan dan kalau perlu sekalian tepuk kaki untuk menyemangati Bapa Druna dan mempermalukan Arjuna. Terusannya gimana Kartomarmo ? Pandawa menyerah tentunya…”.

”Belum kakang prabu. Melihat adiknya pingsan, Wrekudara siap tumandang. Diayunkannya Gada Rujakpolo ke kiri dan ke kanan. Beberpa prajurit Astina yang dekat dengan Wrekudara terlempar dan terluka. Bapa Druna memang memiliki daya magis yang luar biasa, belum sampai jarak selemparan tombak Wrekudara mengarah ke Bapa Druna, seolah dipakukan di bumi, kaki Wrekudara tidak bisa digerakkan. Wrekudara termangu seperti patung, balik kanan ketika dipanggil oleh Prabu Kresna..”.

Sengkuni ”He..he…ya pasti begitu, Druna itu gurunya, jadi Wrekudara tidak akan berani melawan. Sudah saya duga kok ngger..terus Puntadewa nongol juga?? Atau menyerah pastinya ”

”Belum paman. Nggih..puntadewa mencoba maju perang…”

”Alah anak itu nggak pernah perang kok, ya pasti kalahnya sama Pandita Druna”

”Iya dicegah oleh Prabu Kresna, Puntadewa tidak jadi maju. Pandita Druna terus menerus mengamuk mengeluarkan kesaktiannya. Ratusan prajurit pandawa tewas. Tetapi tiba – tiba Wrekudara kembali ke arena lagi berteriak ’Swatama mati – swatama mati’”

Sengkuni”Loh, padahal Aswatama khan gak ikut perang dan belum mati ?”

”Iya paman Sangkuni”

”We lah, teriakan tipuan itu. Apus krama namanya…”

”Inggih Paman…teriakannya begitu nyaring dan disambut gemuruh oleh seluruh pasukan Pandawa…Teriakan ini terdengar oleh Paman Druna. Mendengar isu yang beredar di arena pertempuran ini, Bapa Druna seperti kehilangan tenaga, linglung, bingung kehilangan daya sangga tubuhnya. Beliau menangis gero – gero seperti anak kecil. Begawan Druna menyingkir dari arena perang, sembunyi di balik bukit. Badannya lemas ditumpukan pada lututnya yang bersandar di tanah merah. Tanpa diketahuinya, ada satria bertindak curang. Drestajumena menebas leher Pandita Druna dari belakang. Putus leher Pandita Druna, kepalanya menggelinding, ditendang – tendang oleh pasukan Pandawa, Kakang Prabu…hu..hu…..tidak tega saya melihatnya….oh ho…ho…”

Sampai di sini cerita Kartomarmo, tangis yang tadi ditahannya tidak bisa dia bendung. Rebah badannya seketika…

Demikian juga semua yang hadir diterpa kesedihan, kekecewaan, penyesalan dan rasa amarah tidak tahu kepada siapa. Tidak terlukiskan bagaimana perasaan kesedihan, kekecewaan dan kepedihan Prabu Suyodono mendengar kabar ini.

”Aduhh……Gustiii…gusti…, betapa tidak adilnya Engkau….Mengapa selalu kami yang tertima nestapa, mengapa hanya Pandawa yang engkau kasihi…..”

Karno Tanding[1], Baratayudha harus tetap dilanjutkan, apapun pengorbanannya…! Juni 23, 2008

Posted by Mujiono Sadikin in Cerita Wayang Mahabarata, Yang Aku Pelajari, Yang Aku Senangi.
add a comment

Perang dunia ke empat, Baratayuda Jaya Binangun sudah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa, menjadi kodrat yang harus dijalani dunia. Perang besar ini telah telah memasuki beberapa hari. Ladang perang Kurusetra telah menjadi ladang pembantaian kedua belah pihak. Meskipun baru beberapa hari perang berlangsung, korban tewas tak terhitung. Ladang Kurusetra merah membara, bau amis darah menusuk hidung. Bangkai para prajurit dan hewan perang berserakan, bertumpukan seperti kocar – kacirnya ladang rumput ilalang yang ditebas dibabat sabit tukang kebun. Sisa – sisa patahan senjata bercampur baur dengan bangkai kereta perang. Kedua belah pihak sudah banyak kehilangan Senopati, sanak saudara, orang – orang tercinta, keluarga dekat dan darah daging mereka. Utara, Seta, Wrahatsangka, Abimanyu, Gatotkaca, para pemuda dan agul – agul kerajaan Wiratha dan Amarta itu, hidupnya terengut di masa muda di Ladang Kurusetra. Mereka meninggalkan istri – istri tercinta, anak – anak yang masih hijau. Resi Bisma, Lesmana Mandrakumara, telah menjadi korban kebijaksanan Raja dan Pemerinthan Hastina pura dalam rangka hangrukebi Kerajan Hastina dan Amartapura yang telah dikuasi selama 13 tahun karen sukan dadu.

Perang, di manapun dan apapun alasannya hanya akan menyisahkan kepedihan, penderitaan, bau bangkai, dan keterpurukan bagi kedua belah pihak. Jelas yang sudah menjadi bangkai, kepedihan dan kehampaan akan dirasakan oleh sanak saudara dan keluarga dekat. Yang luka arang kranjang, membawa pedih dan perih dalam arti yang sebenarnya. Yang cacat seumur hidup membawa derita jikalau tak mampu menerima.

Di perkemahana Kuru Mandala, disebut juga Bulupitu. Adalah perkemahan para pembesar dan punggawa Kerajaan Astinapura. Terletak di tapal batas kerajaan dengan ladang peperangan Kuru Setra. Meskipun sifatnya hanya perkemahan sementara, namun kemegahan dan kemewahannya setara dengan istana kerajaan. Gapura besar menjulang di depannya, kiri kanan gapura diapit kandang kelangenan sang Raja. Kiri kandang singa, kanan kandang macan. Hari itu menjelang sore, di padang Kurusetra pertempuran masih menggelora. Sesuai denga kesepakatan dan peraturan perang, perang hari itu akan dihentikan seketika setelah matahari terbenam. Kedua belah pihak akan menghentikan segala serbuan dan kelebat senjata, untuk sekedar beristirahat dan mengatur strategi perang esok hari.

Di dalam perkemahan, Prabu Suyodono duduk di kursi keprabon yang empuk, bersila methengkrang dengan tangan bersilang. Belum ada ucap yang keluar dari mulutnya saat itu. Namun rona wajah dan bahasa tubuhnya jelas menyiratkan kekecewaan, kemarahan, dan juga kesedihan yang mendalam. Sang mertua, Prabu Salya dari Kerajaan Mandaraka masih setia mendampingi. Juga Arya Patih Sengkuni. Seolah membaca apa yang sedang dirasakan oleh sang menantu, Prabu Salya memulai percakapan untuk memecah kesunyian sore itu.

”Anak Prabu,….saya sudah menunggu cukup lama untuk andika memulai pembicaraan kali ini. Tetapi sampai nggantung untu, saya menunggu pembicaraan itu dan rasanya tiada tanda – tanda dhawuh ananda itu. Saya merasa tidak dianggap dalam perhelatan ini. Padahal, keberadaan saya di sini bukan kemauan saya pribadi. Beberapa bulan yang lalu, secara tiba – tiba datang salah satu punggawa kerajaan – kelihatannya, sebab dari tindak tanduk dan cara bicaranya saya tahu- pasti ini adalah utusan Raja agung yang mengerti sopan santun. Singkat kata, utusan itu mengaturkan sepucuk surat untuk saya. Saking terkesimanya saya kepada sikap dan tindak tanduk panggawa ini, tidak saya perhatikan surat itu dengan terwaca serta teliti. Saya hanya membaca intinya, bahwa saya diundang ke perjamuan agung di tapal batas Hastina Pura. Saya ini sudah tua, tetapi kok ya masih saja bersikap terburu – buru, tanpa meneliti lebih jauh saya datang ke undangan itu dengan kerata kerajaan yang saya kusiri sendiri. Sampai di perjamuan agung, memang saya benar – benar dijamu. Setelah kenyang saya makan, setelah terasa seger saya minum, dan setelah saya puas menikmati aneka hiburan, baru saya menyadari bahwa itu semua adalah hajat andika anak prabu. Pada waktu itu, anak prabu meminta saya untuk melindungi dan mendukung kurawa saat perang besar Baratayudha Jayabinangun, yang artinya……yang artinya saya harus rela bermusuhan dengan anak – anak ku Pandawa. Padahal…padahal…, dosa dan kesalahan pandawa kepada saya apa sehingga Kerajaan Mandaraka perlu bermusuhan dengan mereka?? Namun..namun begitu….kok ya saya waktu itu menyanggupi apa yang menjadi permintaan andika prabu. Itu setelah saya kenyang dengan makan dan minum serta hidangan – hidangan lain yang andika suguhkan.. ”

Merasa diungkit – ungkit masa lalu dan ”kelicikan”nya saat membujuk sang mertua untuk berpihak kepadanya terkuak, Prabu Duryudona menyela…

”Jadi, apakah Rama Prabu menyesal dengan semua itu. Apakah Rama Prabu akan menarik kesanggupan yang telah Rama ikrarkan di depan kadang saudara Kurawa, Senopati serta Raja – raja sekutunya ???”

”We lah…., anak Prabu..bukan..bukan begitu, Saya tidak menyesal…ya saya tidak menyesal. Hanya saja…..,lumrahnya orang berkumpul dan berkumpulnya itu ada tujuannya, ya seharusnya ada saling bicara di antara mereka. Lah…pertemuan kali ini kok seperti orang saling satru satu sama lain, tiada pembicaraan apapun”

”Rama Prabu, saya masih menyesali meninggalnya Eyang Resi Bisma beberapa hari yang lalu. Mengapa Dewata begitu tega dengan gugurnya Eyang Resi Bisma?? Padahal belum sepenuhnya kami para cucu Kurawa sempat memberikan kebahagian dan kamukten kepada Beliau. Hm….”

”Anak Prabu,…..Tidak ada yang perlu disesali atas kejadian sampai dengan saat ini. Memang perang ini telah banyak memakan korban termasuk Resi Bisma dari sisi Hastina, Pandawa pun juga telah banyak kehilangan Senopati dan Kerabat. Utara, Seto, Wrahatsangka, telah gugur…”

”Iya, di pihak Kurawa lebih pedih lagi, ananda Lesmana Mandrakumara yang saya gadhang-gadhang jadi penerus dan penyambung keturunan trah Kuru, telah tewas…”

”Memang, memang…Ramanda tahu itu, tetapi pandawa juga kehilangan Abimanyu dan Gatotkaca. Mereka berguguran di Kurusetra karena tidak kuasa menandingi kesaktian para Senopati Kurawa.”

Nggih, tetapi mengapa Pandawa begitu tega sampai menghabisi nyawa Eyang Resi Bisma ? Pandawa memang benar – benar murang tata, tidak mengerti tata krama dan adab sopan santun. Eyang Resi Bisma itu siapa? Seharusnya Pandawa bisa mengerti…”

”Sebentar – sebentar, anak Prabu. Ini dalam perang lo…., dalam perang tidak ada sanak sodara, tidak ada anak orang tua, tidak ada benar salah, yang ada ya kalau bukan teman ya lawan. Kalau tidak membunuh ya dibunuh. Cukup itu saja. Karena…karena…ananda sudah memilih dan menetapkan perang sebagai jalan keluar permasalahan Pandawa – Kurawa. Namun…namun ngger, sebenarnya tidak ada kata terlambat. Angger prabu masih bisa menyelamatkan keadaan dan menghindari lebih banyak korban serta penderitaan. Jikalau angger menginginkan, Pandawa bisa Rama panggil untuk menghadap Anak Prabu dan menyelesaikan semua permasalahan sampai di sini saja. Saya berani menanggung dan saya sendiri yang akan mengiringi Pandawa agar bersesedia menghadap Angger Anak Prabu. Asal….asal, Amarta anak prabu kembalikan kepada Pandawa dan hak Pandawa Hastina pura anak Prabu berikan meskipun hanya separo saja dari Hastina tanpa isinya. Saya berani menanggung dan menaruh dadaku di depan Puntadewa sebagai jaminan bahwa Pandawa tidak akan mengutik – utik kamukten dan kewibawaan Angger Prabu selama ini”.

”Rama Prabu…”

”Ya, bagaimana Ngger…”

”Rama Prabu saya mohon mendampingi saya di sini bukan untuk memanggil Pandawa menghadap di depanku…”

”Ooo begitu ??”

Nggih..Lagi pula ibaratnya menyeberangi sungai, perang ini sudah sampai di tengah – tengah. Kalau kembali kami sudah terlanjur basah, berlanjutpun kami akan tetap basah. Maka bagi kami, tidak ada kata batal untuk perang Baratayuda ini. Yang kedua…”

”Apa yang kedua ngger ??”

”Jika saya menghentikan perang ini, saya malu dengan suwargi Eyang Resi Bisma yang telah mengorbankan nyawanya untuk membela Kurawa. Betapa saya tidak tahu diri dengan penderitaan dan pengorbanan Eyang Resi Bisma, padahal saya belum sempat memberikan kebahagian dan kemukten kepada Beliau. Oleh karena itu, dengan pengorbanan apapun, perang ini harus tetap berlanjut sampai Pandawa tumpas habis..”

”Oo..begitu ??”

Nggih Rama…”

”Hmm…masih boleh saya matur lagi…?”

”Silakan Rama Prabu..”

”Anak Prabu… jangan dikira…jangan dikira jikalau meninggalnya Eyang Resi Bisma itu penderitaan untuk beliau. Kita tidak tahu, bisa jadi itu merupakan pencapain kesempurnaan hidupnya. Sebab jikalau saya dengar dari cerita banyak orang dan sudah menjadi cerita umum dunia, Resi Bisma itu sakti bukan kepalang. Di masa muda dia pernah berguru kepada Resi Bagaswara. Resi Bagaswara pada jamannya merupakan Guru tanpa tanding di jagad ini. Namun begitu…, namun begitu setelah selesai berguru, Resi Bisma muda menantang gurunya. Ya..gurunya ditantang. Singkat cerita, tantangan sang murid itu diterima, dan Resi Bargawa terdesak. Sampailah dikeluarkan senjata pamungkas Resi Bargawa berupa panah Bargawasta dilepaskan ke leher Resi Bisma. Bukan Resi Bisma yang luka, tetapi panahnya yang hangus terbakar. Namun….pada perang beberapa hari yang lalu, Resi Bisma menemui ajalnya hanya oleh Seorang Senopati Putri, Putri Kerajaan Pancala si Woro Srikandi….”

Belum sampai diskusi antar mereka mereda…di luar Kartomarmo mandi peluh berlari dari medan perang menuju padepokan. Sambil gero – gero menangis seperti anak kecil, lari Kartomarmo ibarat peluru lepas dari senapan. Terkejut Prabu Duryudono mendapati Kartomarmo seperti itu.

“Kartomarmo….! Tingkahmu seperti anak kecil, gero – gero mandi peluh. Apa yang terjadi di luar….???”..

“Aduh sinuwun…mohon ijin untuk matur”.

“Silakan matur, aku dengarkan…”

Sampai di sini dulu edisi Karno Tanding kali ini..

Wiratha Parwa [6], Akhir penyamaran, Pandawa mendapatkan sekutu dalam menghadapi Perang Besar Barathayuda Jayabinangun. Juni 15, 2008

Posted by Mujiono Sadikin in Cerita Wayang Mahabarata, Yang Aku Pelajari, Yang Aku Senangi.
2 comments

Catatan : “Beberapa tulisan saya mengenai cerita baratayuda ini juga bisa disalin oleh/di http://bharatayudha.multiply.com/, salah satunya di http://bharatayudha.multiply.com/journal/item/332, tanggal 18 Nop 2008

Sayang tanpa menyebutkan sumbernya :(”

Malam hari menjelang akhir penyamaran Para Pandawa. Setelah para penyerbu berhasil diusir dari perbatasan menjelang pergantian hari ini. Belum sempat Bilawa, Wrahatnala, Wijakangko beristirahat untuk memulihkan tenaga. Kerajaan merasa perlu merayakan kemenangan Prajurit Wiratha yang gilang gemilang ini. Kerusakan, kehancuran, dan rasa penderiataan rakyat akibat perang beberapa hari ini, menjadi urusan nomor dua untuk dipulihkan. Raja Matswapati berpendapat semangat dan harga diri rakyat dan kawula perlu dipulihkan dulu dengan perayaan untuk menyuntikkan semangat dan rasa percaya diri di hati serta pikiran mereka. Perayaan ini sangat perlu untuk pemulihan rasa percaya diri itu atas nama kebangsaan dan kenegaraan Wiratha maupun kepada pemerintah kerajaan. Perayaan ini sekaligus untuk menyambut Sang Senopati Utara dari perbatasan depan Wiratha. Semua punggawa, senopati, putri dan danyang – danyang hingga kawula rakyat kecil diundang ke balairung istana kerajaan yang memang tidak tersentuh perang sehingga kemegahannya sebagai bagian Istana kerajaan Wiratha tetap terasa. Hadir pula ke paseban agung di hadapan Sang Raja, adalah Kangka, Bilawa dan Salindri. Sementara Wrahatnala dan putra mahkota Utara belum terlihat.

Raja Matswapati memulai pidatonya dengan mengungkapkan rasa bangga hatinya karena putra mahkota Kerajaan berhasil memundurkan pasukan Hastina Pura. Begitulah yang disangka dan dibanggakannya. Kepada semua yang hadir tak henti – hentinya Sang Prabu memuji keberanian dan ketangkasan putra mahkota Raden Utara yang sepengetahuannya berhasil memukul mundur pasukan Hastina dari arah depan istana. Menurut khabar yang sampai ke telinganya, lawan yang dihadapi oleh Utara bukan lawan yang sembarangan, Adipati Karno. Seorang senopati dengan kemampuan dan kehlian perang tanpa tanding. Adipati Karno terkenal dengan kehlian memanah yang mencapai taraf sempurna. Juga diberikan senjata sakti oleh bapaknya, Bethara Surya, berupa keris Kyai Jalak yang dapat mencari musuh dan memusnahkannya dengan bertindak sendiri sesuai dengan keinginan Sang Adipati. Karno juga mempunyai anak panah, senjata kunta pemberian Sang Bethara Guru. Tetapi itu semua tidak berarti di hadapan Utara, putra kesayangannya. Kenyataannya Utara dapat mengatasi semua kesaktian Adipati Karno. Ini tentu saja prestasi yang luar biasa. Ini prestasi yang patut dibanggakan dan harus dihargai oleh para kawula dan raktyat Wiratha seluruhnya. Prabu Matswapati ingin menunjukkan kepada rakyatnya bahwa Negara dan kerajaan dalam kondisi aman terkendali, pemerintahan sangat dapat diandalkan untuk dapat mengatasi permasalahan apapun yang perlu dihadapi. Jadi tidak beralasan jika tersembul sedikitpun rasa tidak puas kepada pemerintahan.

Semua yang hadir ramai bersorak dan mengamini kata demi kata Sang Prabu, meskipun banyak di antara mereka tahu situasi sebenarnya di lapangan bagaimana. Namun mayoritas di antara yang hadir adalah lingkaran dekat kerajaan yang sudah terlanjur menempati posisi enak – kepenak. Mereke sudah terlanjur menikmati fasilitas dan kemapanan yang bahkan turun – temurun. Terlalu berisiko bagi mereka jika mereka berani menentang apa yang dikatakan Sang Raja. Bagi kebanyakan mereka, apapun yang terjadi di luar sana tidak mereka pedulikan yang penting Bapak senang.

Hingga giliran Raja Matswapati menumbukkan pandanganya kepada Kangka yang seolah tidak senang dengan suasana yang terjadi. Dari sikap dan pandangan mata Wija Kangko terlihat tidak sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Sang Raja. Kangko, yang sebenarnya adalah Puntadewa, terkenal sepanjang hidupnya tidak pernah berdusta. Karena sikap luhurnya ini, Yang Maha Kuasa karena sayangnya, memberikan kelebihan kepadanya. Puntadewa mempunyai darah berwarna putih, tidak merah selayaknya jalma manusia yang lain. Dimulai pada masa akhil baliknya, jika berjalan kaki Puntadewa tidak menyentuh tanah karena sucinya jiwa dan raganya.

Di Wiratha, Kangka cukup dikenal sang Raja karena keahliannya bermain dadu. Beberapa kali Sang Raja bermain dan diajari sukan dadu oleh Kangka. Maka wajah Kangka di perayaan kali ini pun tidak asing bagi Sang Raja.

“Kangka…,aku menangkap dan melihat kesan kamu tidak suka dengan suasana perayaan saat ini. Ada apa ??? Kamu khan menyaksikan sendiri bagaimana Utara memimpin pasukan kerajaan Wiratha mengundurkan prajurit – prajurit Astina yang dipimpin Basukarno”

“Mohon maaf Paduka, apa yang paduka katakan sebenarnya tidak benar”

“Hey….!! Tidak benar bagaimana ??”

“Sebenarnya yang mengalahkan Hastina bukan sang putra Utara, tetapi Wrahatnala ”

“Ah …ngawur kamu, bagaimana Wrahatnala si banci itu sanggup perang tanding apalagi mengalahkan Karno??!! Jelas anakku Utara yang maju perang dan dia yang menang!!!”

“Bukan paduka, yang menang perang Wrahatnala”

“Bangsat….Kamu berani melawan aku ??!!” Raja Matswapati meluap kemarahannya. Merasa dikilani dadanya, diremehkan martabatnya, dipermalukan harga dirinya.

“Yang menang Utara…..Iya apa tidak ???!!”

“Bukan, Wrahatnala yang mampu mengatasi prajurit Hastina”

Raja Matswapati tidak mampu lagi menahan amarahnya. Disambarnya cupu (pot) tanaman hias didekatnya, dilemparkanya ke Kangka. Tepat mengenai pelipis Wija Kangko, pelipis pecah mengucurkan darah segar berwarna putih. Belum sempat darah putih suci yang mengalir deras membasahi bumi wiratha yang amis ini, Salindri yang berada di samping Kangka menengadahkan telapak tangannya untuk menampung, menadah darah suci itu.

“Salindri…!!!” Bentak Raja Matswapati.

“Apa yang kamu lakukan, mengapa kamu tadahkan tanganmu seperti itu…? Sudah biarkan Kangka, tidak usah kamu ikut-2an mengurus. Sudah sewajarnya dia mendapatkan hukuman setimpal karena menentang Raja….”

“Aduh….Sinuwun Prabu, mohon maaf atas kelancangan hamba. Sebagai istri, hamba berkewajiban merawat suami saya yang kesakitan ini. Lagi pula, sayang sekali bagi saya, darah suci ini kalau sampai menetes membasahi bumi. Oleh karena itu darah suami saya, saya tadah dengan tangan hamba sendiri.”

“Wah….terserah kamu saja. Toh siang nanti kamu harus menjalani hukuman mati akibat pembunuhan atas Patih Kerajaan Kencaka Pura dan Rupa Kenca”

Malam telah melewati pertengahannya, hari sudah berganti, tidak lama lagi fajar timur akan menjelang. Di luar balairung terdengar sorak sorai gemuruh layaknya tembok bata yang rubuh. Senopati perang telah kembali dengan membawa kemenangan. Bukan Utara yang memimpin pasukan, tetapi Wrahatnala yang di depan. Rombongan ini memasuki balairung istana. Heran Sang Raja melihat pemandangan ini, namun rasa bangga kepada putranya menutupi semuanya. Disambut, dipeluk dan diciumnya putra kesayangan yang menurutnya telah menang perang.

“Ha…ha…ha…..Selamat datang sang senopatiku, Utara….aku bangga padamu karena Adipati Karno yang sakti mandra guna itu telah kamu kalahkan anakku. Tidak perlu menunggu lama, segera kamu aku angkat jadi raja menggantikanku Utara…”

“Mohon maaf Rama, ijinkan hamba matur…”

“Ya….bagimana ??”

“Rama Prabu, sejatinya bukan saya yang memimpin pasukan dan mengundurkan musuh..”

“Loh….la siapa ? Wrahatsangka ??? Atau Seto barangkali ???”

“Juga bukan adik – adik saya itu …”

“La terus siapa ???”

“Wrahatnala…”

“Ah kamu bercanda, yang benar saja. Bagaimana mungkin si wandu itu bisa memimpin pasukan Wiratha????”

Kepareng matur Rama Prabu, sebenarnya Wrahatnala itu tidak lain adalah Cucu buyut Rama sendiri, ya cucu saya Si Permadi”

“Hey…??Gimana ?? Buyutku Permadi ???”

“Sendika Rama, terus Kangka yang Ramanda lukai kepalanya tak lain adalah Puntadewa ya Yudistira, Bilawa adalah Bratasena dan dua pemuda tukang kuda dan pemelihara unggas kerajaan itu tak lain adalah Nakula dan Sahadewa, sinuwun…”

Perasaan Prabu Matswapati saat itu campur aduk tidak karuan. Antara rasa malu yang dalam karena membanggakan keluarga sendiri yang ternyata salah dan kebahagian yang luar biasa karena cucu – cucu buyutnya dalam keadaan selamat dan dalam perlindungan kerajaannya meskipun tidak sengaja dilakukannya. Prabu Matswapati juga meratapi dan menyesali diri, mengapa pikiran dan rasanya begitu tumpul. Mengapa mata batinnya begitu tuli dengan situasi dan keadaan negerinya. Mengapa ia tidak tanggap ing sasmita melihat darah putih mengucur yang belum kering itu. Seharusnya dia tahu bahwa di jagad ini hanya Yudisthira yang mempunyai keistimewaan seperti itu. Mestinya dia juga merasa bahwa Bilawa yang menyelamatkan jiwanya adalah kerabat sangat dekatnya. Ciri fisik Bilawa mungkin bisa ditutupi, tetapi sikap dan sifatnya yang tetap konsisten, tanpa pamrih, tidak punya rasa takut, dan apa adanya itu seharusnya sudah mencukupi untuk menandakan bahwa dia Bratasena.

Di luar sana fajar baru telah menyemburat dari ufuk ujung timur. Sebentar lagi sang surya akan menunaikan kewajibannya, menerangi jagad bahana, dunia seisinya. Memberikan penerangan kepada siapapun yang mau, tanpa pilih kasih dan tanpa pamrih. Dunia berganti hari, sepenggal hari lagi jatah umur siapapun, apapun yang didunia berkurang. Prabu Matswapati, merasakan siraman terang pada hati dan pikirannya. Keangkuhan dan kesombongan yang mengiringi kekuasaan serta kewenanganya perlahan sirna, tunduk tawaduk.

“Waduh – waduh buyut – buyutku, mendekatlah kemari angger. Eyang ingin memeluk kalian satu per satu. Tiga belas tahun tidak melihat wajah teduh dan damai kalian, rasanya seperti sudah seumur hidupku. Drupadi, Yudistira, Bilawa, Nakula, Sadewa…Ah hemmm. Sini – sini ngger, aku ingin melihat dan menikmati wajah kalian satu persatu, cucu – cucuku. Ah hmmm, betapa bodonya eyang buyut ini. Kalau dilihat umur, aku ini ya sudah sepuh, tetapi hati dan batinku rasanya kok semakin tumpul. Kalau ditilik jabatan dan kekuasaan, aku ini ya Raja gung binathara, harusnya kebijakan dan welas asih yang eyang buyut kedepankan tetapi kenyataanya hanya congka dan arogan. Buyut – buyutku., rasanya umur eyang tidak akan lama lagi, harusnya eyang tambah prestiti ngesti ngabekti kepada gusti. Tetapi yang eyang terlalu terlena dengan mukti duniawi. Uyut…..maafkan aku ya ngger…Wah dosa apa yang eyang sandang..hemmm”

Bagai banjir bah, penyesalan dan ratapan raja matswapati mengalir seolah tanpa henti. Gungun – gungun menangis seperti bayi.

”Sudah – sudah eyang..” Yudistira dengan lemah lembut menghibur Sang Prabu.

”Eyang buyut…tidak perlu disesali terlalu lama apa yang terjadi kemarin – kemarin. Eyang, kami semua sedikitpun tidak merasa eyang sakiti, kami harusnya berterima kasih karena Wiratha telah memberikan tempat perlindungan yang sempurna bagi kami berenam, sehingga kami lulus ujian yang sangat berat ini eyang. Namun kami tidak bisa melakukan apa – apa kecuali dengan tenaga dan keringat kami. Hamba dan adik – adik hamba, mohon ketulusan dan keluasan hati Paduka untuk memberikan ampunan atas apa yang telah kami perbuat di Wiratha Eyang…”

”Duh Pandawa…. pandawa….begitu luhur budimu cucu – cucuku. Pantes kalau kalian adalah putra Pandu. Ya sudah, hari sudah berganti siang. Sudah waktunya kita menata diri setelah pertempuran dan kekacauan ini. Hanya satu yang ingin eyang sampaikan. Disaksikan semua yang hadir di sini, disaksikan jagad seisinya, Yang Maha Kuasa, para dewata dan malaikat, eyang berjanji. Nanti saat perang baratayudha digelar, negara Wiratha seisinya, Raja, para putra, para senopati, prajurit, semuanya Eyang pertaruhkan untuk mendukung kalian para Pandawa sebagai balas budi atas jasa – jasa kalian mengatasi serbuan Hastina dan Triharga ”

Janji Prabu Matswapati ini ditepati, semua putra senopati Wiratha gugur membela pandawa dan kebenaran pada hari – hari pertama perang besar Baratayuda Jaya Binangun.

[Selesai, edisi Wiratha Parwa…]

Wiratha Parwa 5: Raden Utara menjadi kusir Wrahatnala, sang wandu/banci yang menjadi senopati perang Mei 31, 2008

Posted by Mujiono Sadikin in Cerita Wayang Mahabarata, Yang Aku Senangi, Yang Sayang Dilupakan.
2 comments

Di tengah alun – alun Wiratha, Raja Matswapati diringkus Prabu Susarman dan menjadi bulan – bulanan. Raja Matswapati dihajar dan dipermalukan, menjadi tontonan bala tentara Trihargao dan Hastina. Kabar ini didengar dan diketahui Wijo Kangka. Bergegas Wijo Kangka menemui adiknya yang tertidur di pasar kerajaan, Jagal Abilawa.

Dengan sapa lemah lembut yang menjadi pembawaannya Wija Kangka membangunkan adikknya.

”Bilawa..adikku yang sentosa badannya, mengapa kamu enak – enak tidur di pasar sementara kerajaan Wiratha dilanda peperangan dan sekarang di ambang kehancuran. Tidak pantas dan bukan pada tempatnya, kamu sebagai warga kerajaan seolah tanpa ada rasa peduli terhadap kondisi negara ini. Bilawa.., bangunlah adikku. Kerahkan tenaga dan keahlianmu untuk cawe – cawe menyelamatkan Kerajaan….”

Bilawa pun bangun.

”Waa….aku tidak tidur…., biarpun mataku terpejam batinku terjaga. Aku tahu semua apa yang terjadi sampai dengan saat ini. Tapi aku wegah, aku tidak sudi membela Raja dan pemerintahannya yang tidak peduli dengan nasib rakyat yang dipamonginya. Tanpa disuruh, aku akan membela Raja dengan raga dan nyawaku jikalau Rajanya mengerti kesulitan dan penderitaan rakyatnya. Tapi apa yang terjdi sekarang ??? Pemerintah dan elite kerajaan hanya memikirkan diri dan golangannya. Mereka hanya mencari jalan gampang untuk menyelesaikan permasalahan. Mereka tahu rakyat mengalami kesulitan, tetapi mereka malah menambah kesulitan rakyatnya. Mereka tidak mau dan tidak mampu mengendalikan harga – harga kebutuhan pokok rakyatnya. Bahan pangan semakin mahal, persediaan sangat terbatas dan sulit dicari. Bahan bakar semakin langka…..Harganya naik terus. Sementara para pedagang spekulan bermain sesuka hati dengan menangguk untung tak kepalang tanggung. Para penasehat kerajaan dan pengawal rakyat di dewan pertimbangan kerajaan bersikap seperti anak kecil. Yang mereka pikirkan hanya kenaikan gaji, peningkatan tunjangan dan pelesiran ke negara tetangga dengan menggotong sanak famili atas biaya negara. Pemerintahan macam apa seperti ini ???? Apa yang harus dibela kalau sudah seperti ini ???. Biarlah Wiratha hancur, mungkin lebih baik begitu. Bisa jadi lebih baik nasibnya kalau menjadi jajahan negara lain. Daripada diperintah bangsa sendiri, tetapi kenyataanya kebanyakan rakyat semakin hari semakin miskin. Untuk apa diperintah bangsa sendiri kalau pemerintah hanya berpihak kepada yang kuasa dan yang punya harta saja ?? Kalau aku bela keadaan ini, maka yang aku bela hanyalah kepentingan mereka semata. Apa Kakang mau menanggung dosaku karena membela Pemerintahan yang lalim itu ??? Biarlah Kakang, negara ini hancur. Kita bisa meninggalkan negara ini kalau kita mau”

”Aduh…adikku, Kakang mengerti apa yang kamu pikirkan dan rasakan. Kakangpun merasakan hal yang sama. Tetapi adikku….., saat ini bukan hanya Raja dan pemerintahan yang sedang terancam bahaya. Rakyat kebanyakan lah yang lebih menderita. Para petinggi kerajaan dan pedagang besar dengan mudah menyelamatkan diri adikku. Sebagian mereka sudah mengungsi, meninggalkan kerajaan. Sementara rakyat kecil, petani, nelayan, pedagang pasar tak kuasa menahan derita dan tidak ada kemampuan untuk menghindar dari amukan tentara Tri Hargo dan Hastinapura. Mereka kehilangan harta yang tidak seberapa, terlebih lagi mereka kehilangan rasa aman dan kedamaian yang selama ini mereka rasakan, sejelek apapun pemerintahan mereka saat ini. Bilawa…., kamu juga harus ingat bahwa hampir setahun kita numpang di Wiratha, bukan hanya di kerajaan tetapi kita juga menumpang di rakyatnya. Aku sebagai lurah pasar, sekecil apapun merasakan subsidi pedagang pasar itu sebagai kompensasi atas jasaku sebagai lurah. Adikku, kamu sendiri sebagai jagal peternakan sapi dan kerbau, juga merasakan cipratan rejeki pedagang ternak dan daging kota ini. Oleh karena Bilawa, kok ya ironis kalau kita hanya enak kepenak melihat penderitaan para kaum bawah ini. Bilawa…, baiklah kalau kamu tidak sepakat dengan pendapat Kakang ini, biar Kakang yang maju ke medan perang dengan segala keterbatasan yang Kakang miliki. Teruskan istirahat dan tidurmu dengan nyaman..”

”Waa………..ya sudah, sudah….Dari dulu sampai nanti mati aku menghormati Kakang sebagai ganti Bapakku di dunia. Karena itu, mohon doa restu, biar aku labrak para perusuh kerajaan Wiratha. Aku pamit!”

Bilawa menuju medan perang, dengan sekali terjang Prabu Susarman dapat dikalahkan Bilawa dan tewas di tengah alun – alun Wiratha. Prabu Matswapati dapat dibebaskan Bilawa.

Saat bersamaan dengan ditawannya Prabu Matswapati oleh Prabu Susarman. Mengetahui pertahanan Kerajaan yang sudah hampir jebol, Utara yang seharusnya mempertahankan kerajaan dan keputren bergegas memasuki keputren untuk mengajak adiknya melarikan diri, tetapi ditolak oleh Dewi Utari. Di keputren selain Dewi Utari dan danyang – danyangnya juga ada Wrahatnala (yang sebenarnya adalah Raden Arjuna) sebagai pengajar tari dan karawitan.

”Utari….adikku, sekarang kondisi kerajaan sudah sangat genting dan nyaris jebol. Pasukan kerajaan Wiratha sudah tidak bisa bertahan lagi akibat serbuan dari kedua sisi kerajaan. Karena itu Utari, segeralah bergegas kita melarikan diri dari kerajaan…”

”We lah dalah..Kakang, mungkin memang pasukan kerajaan sudah kocar – kacir dan terpukul mundur. Tetapi khan masih ada Kakang Utara, senopati andalan Wiratha yang masih segar bugar. Mengapa Kakang tidak menghadapi perang itu ??”

”Utari, pasukan musuh terlalu kuat untuk dihadapi, pasukan dari dua kerajaan besar yang bersekutu dengan persenjataan lengkap tidak akan tertandingi adikku. Oleh karena itu daripada kita tertawan atau gugur, sebaiknya segera kita melarikan diri.”

”Ooo…, jadi Kakang Utata takut ? Baiklah…silakan minggir aku akan maju sebagai senopati kalau begitu. Utari tidak akan takut mati untuk membela kehormatan dan keutuhan kerajaan, meskipun aku hanya seorang wanita. Setidaknya akupun pernah belajar beladiri dan strategi perang.”

Wrahatanala yang mengikuti percakapan kakak adik itu menengahi.

”Permisi putri dan Raden. Rasanya tidak pantas kalau Putri Utari maju perang sementara Raden Utara sabagai senopati kerajaan hanya diam menunggu atau bahkan melarikan diri”

”Hey…Wrahatnala, ini bukan perkara berani atau tidak berani. Kerajaan sudah hampir runtuh, sementara kekuatan musuh sangat besar. Lagipula kalau aku maju perang, tidak ada lagi kusir yang bisa mengendalikan kereta perangku.”

”Mohon maaf Raden, kalau saya yang menjadi kusirnya Raden dalam peperangan ini, bagaimana ?”

”Wee…lah, kamu khan hanya seorang wandu, banci yang hanya bisa mengajar tari dan karawitan. Mana bisa kamu menjadi kusir kereta perang??”

”Mudah – mudahan bisa Raden, setidaknya saya berani mempertaruhkan nyawa di medan perang ini. Saya dulu pernah menjadi kusir kereta perang Raden Arjuna, penengah pandawa itu. Jadi saya punya pengelaman dalam hal itu”

”We…la dalah, apa benar kamu pernah menjadi kusir Arjuna, cucuku itu ??”. Dilihat dari silsilah Para Pandawa sebenarnya adalah Cucu Buyut Prabu Matswapati dan dengan demikian adalah cucu Raden Utara. Saya akan susulkan silsilah nya ini lain kali (kalau sudah ingat atau menemukan…maklum sudah lupa – lupa ingat).

”Benar Raden, karena itu mari kita coba saja kalau Raden memang berani menjadi panglima perang menghadapi Kerajaan Trihargo ini”

Sebenarnya Raden Utara ngeri hati untuk terjun dalam peperangan kali ini, mengingat gabungan tentara dari dua kerajaan penyerbu rasanya sudah tidak mungkin dikalahkan lagi. Apalagi Prabu Matswapatipun sudah menjadi tawanan Prabu Susarman. Namun karena rasa malu kepada adik dan abdi keputren, ditekatkan hatinya untuk berperang.

Syahdan di medan perang dengan dikusiri oleh Wrahatnala, Raden Utara tidak mampu menunjukkan keahlian berperang layaknya Senopati Kerajaan disebabkan perasaan ngeri dan takut melihatan lautan pasukan musuh yang tak terkira banyaknya. Konsentrasinya buyar. Melihat gelagat ini, maka Wrahatnala pun mengusulkan untuk ganti posisi.

”Wrahatnala, benar kamu bisa menjadi senopati perang ini?”

”Mudah – mudahan Raden, asal Raden Utara bersedia menjadi kusirnya”

”We lah…la masak aku jadi kusir, aku ini khan putra dan senopati Kerajaan. Masak aku menjadi kusirmu seorang banci pengajar tari?? Yang benar saja. Aku tidak sudi ….!!!” Masih dengan congkaknya Raden Utara mendebat.

”Benar Raden, tetapi sekarang ini di medan perang, bukan di Keputren. Dan kali ini saya sebagai Senopati karena Raden tidak mampu. Di medan perang ini tidak ada Putra Raja atau abdi dalem keputren. Yang ada hanyalah panglima perang dan kusir kereta. Kalau raden tidak bersedia menjadi Panglima Perang maka pilihannya menjadi kusir. Atau kita kembali ke keputren dengan Raden Utara menanggung malu dihadapan adinda dan danyang-2 keputren lainnya??”

”Hemmm…ya sudah, sudah, biar aku jadi kusir saja kali ini. Tapi jangan bilang siapa – siapa kalau aku menjadi kusir lo ya…”

”Sendika dawuh Raden..”

”Ayo naikklah kereta, biar aku kusirnya”

”Tapi Raden, saya tidak membawa senjata apapun. Saya perlu senjata untuk menghadapi musuh yang bersenjata lengkap itu. Mari kita ke tegalan samping alun – alun kerajaan untuk mengambil perlengkapan perang dulu”

”O begitu, baiklah terserah kamu maunya gimana”

Sampailah mereka di tegalan sebelah timur alun – alun yang menjadi arena pertempuran. Di tegalan yang rimbun dengan semak belukar dan tanaman basah itu terdapat salah satu pohon asam dengan daun yang lebat. Di pucuk tertinggi pohon asam itu tergantung bungkusan putih menyerupai pocong. Bungkusan itu berisi senjata – senjata andalan Arjuna di antaranya Pasopati dan Pulanggeni yang berupa senjata panah. Kedua senjata ini unik dan mudah dikenali sebagai senjata andalan Arjuna, hanya Arjuna yang punya.

”Raden Utara, di pucuk pohon asem itu Raden lihat tergantung pocong kain putih, tolong Raden memanjat dan mengambilnya buat saya”

”We lah…kurang ajar. Aku ini Putra Raja lo, Senopati Kerajaan. Masak suruh pethekelan menek pohon asam..Ah yang benar saja kamu Wrahatnala…”

”Raden Utara, mohon diingat. Sekarang saya senopati perang dan Raden adalah kusir. Tugas Kusir adalah melayani dan mengikut perintah Senopati selama di medan perang. Sekarang Sang Senopati meminta kusir untuk mengambil bungkusan senjata di pucuk pohon asam itu, bagaimana ? Kalau tidak mau, ya kita kembali ke keputren.”

”Walah, kena lagi…Ya sudah aku panjat, tapi kamu jangan bilang siapa – siapa kalau aku manjat pohon asam buat kamu ya.”

”Sendika dawuh Raden”

Raden Utara mendapatkan pocong bungkusan kain putih. Dibukalah pocong itu oleh Wrahatnala.

”Hey…..Wrahatnala, aku kenal betul senjata – senjata itu. Pasopati, pulanggeni, dan keris itu……….Itu punyanya cucuku Arjuna. Dari mana kamu mendapatkannya, kamu pasti mencuri nya ya. Hayo ngaku, kalau tidak mengaku biar aku sendiri yang menghajar kamu saat ini juga di tempat ini juga”

”Sabar Raden, Eyang Utara….Sebenarnya saya adalah cucunda Arjuna..” Berceritalah Wrahatnala mengenai dirinya yang sebenarnya, alasan penyamaran yang dimulai dari permainan dadu Puntadewa dengan Duryudona, sampai dengan dimana saja saudara – saudaranya yang lain saat ini. Hanya saja, Wrahatanala memohon agar rahasia ini disimpan baik – baik sampai batas waktunya yang tinggal 3 hari ke depan.

”Waduh cucuku, ternyata kalian sangat dekat dengan kami. Kok kami tidak tahu ??? Waduh…jadi Kangko itu, Bilawa itu, kinten pangsen itu??. Wah yo kok kami ini bodho sekali, kami ini keterlaluan telah menyia – nyiakan kalian. Jadi Salindri itu Drupadi. Waduh Drupadi…Drupadi, hampir saja Rama prabu membunuhmu dengan tangannya sendiri…..Terimakasih Gusti, Kamu telah menyelamatkan kami dari kecerobohan dan kebodohan ini. Ya sudah Wrahatnala, karena kamu Arjuna. Mari cucuku, aku kusiri kereta perang ini. Aku jadi mantap sekarang mengendalikan kereta dengan panglima perang kamu cucuku”

”Mari, Eyang. Permisi saya naik keretanya”

”Ayo, silakan naik. Kamu senopati sekarang, aku kusirnya.”

Situasi di medan perang.

Di sisi depan istana kerajaan, Bilawa berhadapan dengan pasukan Tri Hargo, meskipun Raja Susarman sudah tewas, Tri Hargo masih memiliki ratusan senopati dan ribuan pasukan perang. Bilawa mengamuk dengan gada rujak polo. Bilawa dibantu separo kekuatan Wiratha yang menjaga perbatasan belakang kerajaan. Setelah sempat kehilangan harapan karena Raja Wiratha tertawan, kali ini Pasukan Wiratha kembali mendapatkan semangat dan kekuatannya. Kelihatannya peperangan mengarah kepada kemenangan pasukan Wiratha. Perlahan, setapak demi setapak pasukan Tri Hargo mundur ke garis perbatasaann belakang istana.

Di sisi depan istana, Pasukan Hastina yang dikomandani oleh Prabu Basukarno semakin mendekati pintu gerbang istana. Separo pasukan Wiratha mencoba bertahan semampunya. Dengan sorak sorai kemenangan barisan Hastina sudah bisa menjangkau gerbang benteng istana dengan anak panah.

Sampai Wrahatnala menunjukkan kesaktiannya dalam membelah barisan musuh dan melepas anak panah yang mengacaukan pertahanan musuh. Satu anak panah dilepaskan, sekejap kemudian berubah menjadi hujan ribuan anak panah di udara. Barisan perang Hastina dibuat kalang kabut dalam sekejap. Banyak diantara para prajurit tidak siap menghadapi serangan semacam ini. Dalam sesaat ratusan prajurit tersungkur . Kehebohan dan kepanikan melanda pasukan penyerbu.

Di sisi lain, barisan Wiratha serasa mendapat second wind. Mereka bersorak – sorak menyambut senopati baru. Semangat mereka bertambah dan berlipat untuk terus merengsek mendesak mundur musuh. Pasukan Hastina mencoba mempertahankan wilayah yang sudah mereka kuasai. Namun hujan panah terasa tidak akan berhenti. Mereka melindungi diri dari hujan panah dengan tameng menutup kepala mereka. Namun dari depan, pasukan berkuda wiratha dengan tombak – tombak dan gada ditangan maju, menerjang, menyambar, memukul dan membabat.

Terkejud Senopati Karno melihat situasi ini, maka diapun mengerahkan kesaktiannya. Dilepaskan lah anak panah oleh Karno. Seketika pula, hujan anak panah dari Wrahatnala berhenti. Berganti sora sorai ada di pihak Astina. Kembali lagi Wrahatnala melepaskan dan membuat hujan panah. Senopati Karno berniat menangkis, namun dari kejauhan tingkah Sang Senopati terlihat oleh Wrathatnala, Secepat kilat Wrahatnala melepaskan anak panah tepat menyambar Busur Panah Senopati Basukarno, patah berkeping dua..

Sebenarnya ini adalah pertanda bagi Basukarno mengenai siapa sebenarnya yang dihadipnya. ”He.he…” Prabu Basukarno tertawa dalam hati. Dia paham siapa di seberang sana yang dihadapinya. Tak lain adalah adik sepergurannya dalam olah anak panah, Arjuna. Arjuna juga adik kandung seibu dari Basukarno.

Basukarno tersenyum dan mengguman ”He..he….he…Saya tahu siapa anak ini? Hmm iya adikku, aku tahu ternyata kamu. Hmm bagus, aku lega sekarang. Ternyata kalian adik – adikku Pandawa selamat dan baik – baik saja. Kalau kakang tega, Kakang bongkar rahasia kalian yang hanya tinggal dua hari ini. Maka habislah kalian. Tapi kalian tahu, bagaimanapun Kakang tidak akan mencelakakan kalian dengan cara nista seperti ini. Ya sudah Arjuna, kali ini cukup sampai di sini kita bertarung. Ada masanya kita akan bertemu lagi, mungkin di perang besar nanti. Aku tunggu adikku ”.

Setelah melepaskan anak panah penyapu hujan panah Wrahatnala, Prabu Basukarno memerintahkan pasukan Astina mundur. Maka pasukan Astina mundur kembali ke Kerajaan Astina. Tinggal lah pasukan Wiratha yang bersorak karena kemenangannya ini. Di belakang istana, pasukan Tri hargo pun tidak mampu mempertahankan pukulan balik dari Bilawa. Keadaan mereka lebih parah, kehilangan Raja dan puluhan senopati.

Maka penyerbuan terhadapa Wiratha dari kedua sisi, gagal.

Wiratha Parwa [4] Mei 12, 2008

Posted by Mujiono Sadikin in Cerita Wayang Mahabarata, Yang Aku Pelajari, Yang Aku Senangi.
add a comment

Layar tengah menyorot adegan persidangan di Kerajaan Wiratha. Raja Maswapati memimpin dan mengadili persidangan terhadap Salindri, abdi keputren, yang dituduh melakukan pembunuhan terencana terhadap dua senopati Kerajaan Raden Rupa Kenca dan Kencaka Pura.

“Salindri….., apa pembelaanmu atas tuduhan pembunuhan berencana terhadap adik – adik iparku ?”,mulailah Prabu Matswapait mencecar Salindri layaknya hakim tunggal.

“Ampun paduka, ijinkanlah hamba membela diri guna mendapatkan keringanan hukuman atas musibah ini. Sejatinya, di malam kematian Raden Kencaka Pura dan Rupa Kenca tersebut, saya dalam posisi membela diri. Karena pada saat itu keduanya berniat memaksa hamba untuk melayani nafsu mereka. Saya tidak mau Paduka, Raden Kencaka Pura marah besar kemudian mematikan lampu taman dan memaksa saya, entah bagaimana jadinya tiba – tiba saja saya mendengar jeritan Raden Kencaka Pura, kemudian saya melarikan diri. Dalam pelarian saya dicegat oleh Raden Rupa Kenca yang berniat sama. Saya sudah sempat dipegangnya, saya tidak dapat melakukan apa – apalagi ketika Raden Rupa Kenca mendekap tubuh saya. Yang hamba lakukan hanya dapat merintih, menangis dan memohon pertolongan yang Maha Widi. Saya benar – benar tidak tahu apa yang terjadi karena gelap gulita waktu itu Tiba – tiba saja Raden Rupa Kenca menjerit dengan tubuh berlumuran darah, tewas. …”

“Wah..kamu mengada – ada, terus siapa yang membunuh mereka berdua ??? Yang ada hanya kalian berdua saat itu???”

“Memang paduka, setahu saya hanya kami berdua baik dengan Kencaka Pura maupun Rupa Kenca, tidak ada manusia yang lain. Hamba kira Gonduruwo yang membunuh mereka Sang Prabu….”

“Edannn…kamu malah semakin ngelantur, bagaimana Gonduruwo bisa membunuh kedua pejabat teras kerajaan itu ? Mereka berdua adalah andalan kerajaan Wiratha karena kesaktian dan trengginasnya mereka. Salindri…!!! Bagaimanapun kamu saya anggap telah melakukan pembunuhan atau paling tidak kalau kamu tidak mengakui membunuh, kamu telah menyebabkan mereka terbunuh. Meskipun berdasarkan keterangan telik sandi kerajaan, mereka berniat mendongkel aku dari kursi Raja, tetap pembunuhan ini tidak dapat dibenarkan karena itu kamu harus dihukum..”

“Mohon ampunan Paduka…..”

“Untuk menebus kesalahanmu dan peringatan terhadap pelaku kriminal berat yang lain, kamu akan dihukum gantung…!!!”

“Duh Paduka….tidak kah ada pertimbangan dari apa yang sudah saya lakukan dan pengabdian saya untuk kerajaan sehingga saya harus menerima hukuman seberat ini?? Mohon kemurahan paduka….”

“Hmmmmmm….Salindri, memang selama ini kamu selalu berbuat baik dan tidak ada catatan kriminal sebelumnya. Putriku Dewi Utari pun memohon – mohon agar aku memberikan pengampunan kepadamu. Tetapi…hukum negara harus ditegakkan dengan tanpa pandang bulu, siapapun yang berbuat salah entah itu Raja, anak nya, kerabatnya, pejabat nya siapapun harus dihukum. Aku tidak ingin kewibawaan dan kehormatanku tercederai karena bersikap pilih kasih. Tidak ada yang bisa melawan hukum entah itu uang, hubungan darah, atau tekanan politik lainnya. Karena itu Salindri…siap – siaplah pada waktunya nanti kamu akan digantung sebagai hukumanmu.”

”Aduhhhh sinuwun, kasihanilah saya, sebagai perempuan yang lemah tanpa pernah berlatih kanuragan, olah perang maupun belajar kesaktian, bagaimana mungkin saya bisa membunuh kedua Senopati Perang Kerajaan tersebut dengan tangan saya sendiri ?? Tidakkah itu jadi pertimbangan sinuwun…???Lalu bagaimana dengan harga diri saya yang secara semena-mena dengan rudapaksa akan dirampas begitu saja oleh kedua satria tersebut hanya untuk memuaskan nafsu mereka ? Tidak kah mereka pantas mendapat hukuman juga Sang Prabu….? Lalu bagaimana dengan kebijakan kerajaan yang secara tertulis harus melindungi perempuan dari kekerasan dan pelecehan ??? Mohon kebijaksanaan sang prabu yang saya kenal sebagai orang Raja yang bijak”

”Hmmmm, sudah – sudah !….kamu mulai menggurui aku”

”Mohon ampun paduka….”

”Baik…juga dengan pertimabangan tangisan Putriku, hukumanmu aku ringankan. Kamu harus minggat sekarang juga dan jangan pernah kembali ke Wiratha. Kamu sudah menjadi aib dan penyebab malapetaka kerajan”

”Beribu – ribu terimakasih atas kebijaksanaan dan kemurahan paduka. Tetapi perkenankan saya menawar lagi paduka, saya mohon waktu tujuh hari lagi sebelum saya pergi dari Wiratha ????”

”Berikan aku alasan, mengapa harus tujuh hari yang kamu perlukan. Begitu lama…”

”Masih banyak tugas dari Putri Utari yang belum saya selesaikan Paduka, waktu tujuh hari hamba rasa mencukupi. Hubungan kami sudah begitu dekat, saya perlu menyiapkan perpisahaan ini demi kebaikan kami berdua Raja. Terlebih lagi, masih ada beberapa tanggungan hutang dan kewajiban saya kepada para tetangga di Keputren. Karena itu hamba rasa, waktu tujuh hari merupakan waktu minimum yang hamba perlukan untuk menyelesaikan semua itu Paduka.”

”Hmmm, ya sudah aku kabulkan permitaanmu. Sekarang, kembalilah ke keputren. Keperluanmu di sini sudah selesai…”

”Mohon pamit Paduka…”

Belum sempat Salindri mengundurkan diri dari pendopo persidangan, prajurit pintu gerbang perbatasan kerajaan tanpa dipanggil memasuki pendopo dengan tergopoh – gopoh dan terlihat sangat ketakutan. ”Mohon ampun sinuwun, Kerajaan Trihargo yang dipimpin Rajanya Susarman (hore…! akhirnya aku inget nama Raja ini) bersekutu dengan kerajaan Astina sudah sampai tapal batas kerajaan dan sebagian sudah menjebol pertahanan gerbang perbatasan. Mereka melakukan pengrusakan dan penyerangan Sinuwun. Para kawula, petani, pedagan, nelayan dan para buruh yang sejatinya tidak mengerti apa – apa telah menjadi korban Sang Prubu…”

”We la dalah…kurang ajarrr…………….! Dasar kedua raja itu tidak mengerti tata krama, menyerang tanpa tantangan dan pemberitahuan. Wajar saja kalau mental preman menjadi pejabat, ya seperti itu jadinya. Seta…, Wratsangka,…Siapkan pasukan, aku sendiri yang akan memimpin menghadapi amukan raja yang kurang pendidikan ini. Utara…, kamu jaga keputren dan kerajaan, ambil pasukan secukupnya untuk mendampingimu. Jangan sampai prajurit musuh mendekati kerajaan apalagi keputren…”

”Sendika dawuh Kanjeng Rama”, jawab Seta, Wratsangka, dan Utara serentak.

Maka terjadilah pertempuran yang tidak seimbang antara Wiratha dengan sekutu antara Astina dan Trihargo. Singkat kata dalam pertempuran itu Raja Matswapati berhadapan dengan Prabu Susarman. Raja Matswapati kalah dan berhasil diringkus dan ditawan Prabu Susarman. Di tengah alun – alun Wiratha, Matswapati menjadi bulan – bulanan Prabu Susarman. Di lain pihak, dari belakang kerajaan Pasukan Astina menyerbu dengan dipimpin oleh Adipati Alengko, Raden Basukarno. Wiratha pun jebol……………………

Wiratha Parwa [3] April 17, 2008

Posted by Mujiono Sadikin in Cerita Wayang Mahabarata, Yang Aku Pelajari, Yang Aku Senangi.
add a comment

Di layar utama dengan bantuan proyektor dan notebook dipentaskan oleh dalang yang berada di belakang layar menghadap penonton.

Di lingkungan Kerajaan Wiratha…

Wiratha merupakan kerajaan yang berbatasan dengan Astina, dipimpin oleh Prabu Mastwapati. Sang Raja mempunyai tiga putra Seta, Utara, Wratsangka dan satu putri Dewi Utari. Sang Raja mempunyai dua adik ipar Kencaka Pura dan Rupa Kenca, keduanya pejabat teras (patih) di Kerajaan Wiratha.

Ini cerita Raja Tri Hargo

”Begini cerita yang saya dengar dari telik sandi saya Prabu”, kata Raja Tri Hargo kepada Prabu Duryudono.

Saat itu, Kencaka Pura menggoda Salindri (Salindri adalah nama samaran Drupadi, dia bekerja sebagai pelayan putri kerajaan Dewi Utari). Kelakukuan Kencaka Pura yang akan me-rudapaksa- Salindri ini tiba – tiba dipergoki seseorang atau sesuatu. Entah bagaimana ceritanya yang jelas Kencaka Pura mencoba melawan si penyerang. Tetapi Kencaka Pura tidak kuasa melawan. Akhirnya death, mati, tewas, binasa. Kencaka Pura terbunuh.

Adik Kencaka Pura, Rupa Kenca berikutnya yang terpesona dengan kecantikan rupa dan body Salindri. Kepincut…..

”Wa la dalah….ada cewek cantik sendirian di tengah taman.. Gua gebet juga nih cewek.”, begitulah pikir Rupa Kenca(RP). Maka mulailah RP menggoda Salindri..

”Suit…suit….”, mula – mula dengan siulan kecil.

“Ehm..ehm…, sang putri…boleh dunk kenalan ??”

“Ki sanak…, ya boleh saja orang cuman kenalan kok nggak boleh to ya ?? Namaku Salindri, di Wiratha aku bukanlah seorang putri, hanya pelayan dan danyang di keputren saja kok.”

“Oh begitu…., tapi cantik mu mengalahkan dewi Ratih di Kahyangan lo…”, RP mulai merayu…

“Terimakasih raden…, saya permisi dulu…”

”Na..na..,sebentar to. Kok buru – buru amat, mbokya kita tuker – tukeran No HP dulu ntar tak SMS yo…?”

”Waduh…ndak usah Raden, saya ini hanya pelayan keputren kok. Ya ndak punya HP to, buat apa…”

”Oh…Hari ini, gak punya HP ???? Tapi biarlah gpp, kita kenalan aja. Ntar tak beliin HP. Aku ini punggawa Kerajaan Wiratha, Pejabat Teras. Patih…Jadi, tahu sendiri lah. Proyekku banyak, aku punya anggaran sendiri yang bisa aku kelola. Jangankan cuman HP, tinggal batuk aja, ibaratnya Vendor – vendor akan kasih apa yang aku sebut. Ya..ya.., kita kenalan yuukk? Atau gini deh, kalau kamu nggak mau kenalan, ya uwis kita sir – siran aja, pacaran kata anak jaman sekarang. Okay ya ?”

”Walah…Raden ini lo, ndak usah ya Raden. Saya ini sudah ada yang punya, saya sudah bersuami…”

“Ahhh…suami khan bisa diatur nanti…, Sapa to suamimu ??? Kira – Kira pangkatnya apa ? Dan siapa lebih ganteng, aku apa suamimu ???. Ya sudah, kalau pacaran nggak mau, kita kawin saja. Gimana ??”, Sambil mengedipkan mata RP mulai kurang ajar

“Wah..jangan Raden, saya tidak bisa dan itu tidak mungkin terjadi”

“Sekali lagi…aku ini pejabat lo, aku bisa maksa siapapun unuk menuruti kemauanku, termasuk kamu yang hanya batur, pelayan, abdi keputren”

“Jangan Raden…”

“Mau apa tidak ??”

“Tidak bisa Raden…”

“We lah, kamu minta tak rudapaksa ya…? Baiklah kalau begitu, cara halus nggak bisa. Aku pakek cara kasar….!!!”

RP mulai memaksa Salindri dengan cara kasar. Tapi tiba – tiba ketika RP sudah mulai memaksa Salindri dan ketika baru memegang tangan Salindri, RP mulai menjerit – jerit kesakitan. Kemudian mati dengan luka sobek di leher dan mata melotot. Tidak ketahuan siapa yang membunuh

”Begitulah Prabu, kedua senopati andalan Wiratha sudah tewas”, Raja Tri Hargo menutup ceritanya.

”Jadi sekarang adalah saat yang pas untuk menyerang Wiratha guna memperluas jajahan Astina. Saya tidak minta apa – apa sebagai imbalan. Silakan kerajaan dan semua harta rampasan menjadi milik Paduka dan Kerajaan Astina. Oakay ??. Saya hanya pingin Dewi Utari. Saya juga dendam kepada Raja Wiratha, mengapa lamaranku ditolak”

”Hemmm, tawaran yang menarik..”, Jawab Prabu Duryudono yang memang silau dengan harta dan kekuasaan.

”Aku setuju dengan ajakan dan tawaranmu, sekarang siapkan pasukanmu. Prajurit Astina akan menyerang Wiratha dari perbatasan utara, silakan Pasukan Tri Harga menyerbu dari perbatasan selatan…”

”Ha..ha…ha…, kham begitu Prabu. Baik, sendika dhawuh… saya dan pasukan Trihargo berangkat sekarang…”. Raja Tri Hargo lengser dari pisowanan.

”Cucu Prabu…” Resi Bisma mencoba menyela pembicaraan.

”Ya Kakek Prabu, ada usulan apa lagi ? Sudah ada TOR nya apa belum ???”

”Hemmm…kamu itu lo, pejabat tertinggi kerajaan kok ya orientasinya proyek terus.!. Cucu Prabu, baiknya kamu pikir sekali lagi mengenai penyerangan ke Wiratha ini. Tidakkah ini akan menambah musuh baru, padahal Raja Wiratha itu terhitung kerabat dekat. Astina. Lagi pula, kok kamu meladeni omongan Raja Tri Hargo yang baru kamu kenal. Hanya dengan janji – janji manis saja kamu terhanyut. Kamu tidak dibius apa dihipnotis to??? Tidakkah kamu mikir, sebenarny itu tadi Raja penakut, Raja licik, sekaligus culas. Wong lamarannya ditolak kok mencak – mencak. Kalau dia jantan dan berani ya akan dihadepi sendiri to Raja Wiratha itu. Itu tadi nyari temen, sebab dia tidak bisa ngerjain sendiri, itu tadi cuman makelar..Kok kamu ikuti….Raja itu tadi takut darah, takut repot, makanya nyari teman. Makanya cucu, kamu sebaiknya…. ”

”Sudah – sudah…Kakek diam saja, aku tidak memerlukan nasihat dan petuahmu. Proyek ini akan aku kerjakan sendiri, kalau kakek mau ya ikut, kalau tidak yak sudah nggak usah ngrecoki”

”We lah….ya sudah, tidak ada gunanya aku di sini.. Aku pamit pulang ke Talkanda. Drona, Karna, Sangkuni, aku pulang dulu. Percuma meeting kalau sudah tahu hasilnya harus ikut Boss terus…Permisi…”

Resi Bisma pun keluar dari balairung kerajaan Astina.

Wiratha Parwa [2] April 11, 2008

Posted by Mujiono Sadikin in Cerita Wayang Mahabarata, Yang Aku Pelajari, Yang Aku Senangi.
add a comment

Catatan : “Beberapa tulisan saya mengenai cerita baratayuda ini juga bisa disalin oleh/di http://bharatayudha.multiply.com/, salah satunya di http://bharatayudha.multiply.com/journal/item/333, tanggal 18 Nop 2008

Sayang tanpa menyebutkan sumbernya :(”

Duryudona masih dalam kemarahannya, giliran ke Pandita Druna…

”Bapak Guru, katanya sampeyan adalah Guru segala Guru…Tapi mengapa hanya mengeliminasi Arjuna saja, sampeyan tidak mampu. Malah dia lolos terus melewata babak audisi, babak semi final, babak final dan akhirnya menjadi juara memanah antar Jawa Dwipa…Ada apa ini…..????, saya sangat curiga Bapak Guru ada main dengan mereka para Pandawa. Bapak Guru….., setahu saya dan atas laporan para punggawa, semua kebutuhan Bapak Guru sudah kami penuhi. Tunjangan mengajar sudah kami lebihkan. Biarpun Bapak Guru jarang mengajar karena kebanyakan proyek di luar, saya kasih dispensasi. Gaji tetap penuh, tunjangan tidak dipotong. Proyek pribadi selalu sukses, tapi giliran proyek untuk kepentingan kerajaan ….MEMBLE….Perlu contoh proyek kerajaan yang Bapak handle tapi gagal ???, wah buanyak Bapak. Saya sebutin satu saja. Bapak pasti ingat proyek ’PEKERJAAN PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN ELIMINIASI BRATA SENA’ beberapa tahun yang lalu ??. Bapak, berapa budget yang bapak habiskan dengan janji Bratasena akan tewas di Gunung [waduh lupa namanya apa ]? Bapak bilang Bapak bisa menjerumuskan Bratasena dengan menyuruhnya mencari Kayu Susuhing Angin di Gunung itu? Apa yang terjadi kemudian ? Bratasena tidak mati, malah pulang mendapat kesaktian berupa cincin yang bisa membuatnya mengarungi samudra !!!!! Ada proyek lain, penghilangan Bratasena di Samudra, gagal juga. Malah bratasena tambah kuat karena mendapat kesaktian dari Bethara Ananta Boga. Dapat istri cantik lagi, anaknya ananta Boga itu…Wah kurang ajarr !!!!. Sekarang Bapak mau bilang apa ? Masih ingin kompensasi lagi, kenaikan tunjangan mengajar, dispensasi proyek pribadi ??”

Pandita Druno adala professor di Astina. Dia adalah guru Pandawa dan Kurawa. Sebagai professor, selain pintar dia juga bijaksana, wise. Dia tahu, percuma menanggapi orang marah dan agak sedeng seperti Duryudono saat ini. Hanya kerena hutang budi yang tidak seberapa saja, dia mau bertahan di Kampus Sukolimo yang masuk area Astina. Maka dengan kesabarannya, Pandita Drona hanya bilang “Mohon maaf dan mudah – mudahan masih bersarabar Anak Prabu…”.

“Maaf dan sabar lagi, kapan saya dapat hasil yang saya inginkan……?”. Giliran Adipati Awangga Basukarno kena semprot.

“Kakang Karno…., Saya sangat membanggakan Kakang sebagai senopati unggul di Astina. Saya sangat percaya dengan kesaktian dan kemampuan Kakang dalam berperang. Tapi Kakang sama saja dengan yang lain, dalam hati lebih sayang pada Arjuna daripada kepada kami para Kurawa. Itulah kenapa hanya untuk seorang Arjuna saja Kakang tidak bisa mengatasi. Atau lebih tepatnya pura – pura tidak bisa mengatasinya. Kalian semua hanya bisa ngomong kosong…..!”. “Oakay Guys….!” Duryudono keluar gaya premannya, dan melanjutkan kemarahannya. “Sekarang tinggal sepuluh hari lagi Pandawa akan sukses dalam penyamarannya. Dan kita harus mengembalikan Amarta dan separo Astina. Saya sudah kasih waktu satu tahun untuk menemukan Pandawa. Tapi hasilnya nihil. Jadi kerjaan intelejen kita itu ngapain saja ?? Budget dan Anggaran selama setahun ini, larinya kemana ????. Jangankan bagaimana Pandawa, indikasi lokasi Pandawa saja kita tidak tahu!!!. Apa yang saya harapkan lagi dari kalian…Sudah kalian istirahat yang tenang, tidur yang nyenyak, makan yang enak…..Saya akan tangani sendiri Pandawa…!!!!…Minggirrrrrrrrrr”. Druyudono menghunus pedang, menerjang rapat agung. Belum sampai keluar balairung, datang Resi dari Talkanda, Resi Bisma yang sebenarnya eyang Para Kurawa dan Pandawa. Resi Bisma mencoba menenangkan Duryudono.

”Ngger, cucuku yang paling gagah, nggantheng dan perkasa. Yang sabar nak, jangan seperti anak kecil begitu to ah. Kamu itu khan raja besar dengan kekuasaan luas, jajahan banyak, pendudukmu banyak, kekayaan alam melimpah. Ah tapi mbok ya jangan gampang marah begitu to. Yang sabarrr.. Terus kamu bawa – bawa pedang terhunus seperti itu, ya malu lah…Nanti apa kata orang, kemana saja punggawa dan prajuritmu yang berlimpah dan sakti – sakti itu, kok Rajanya turun gelanggang sendiri ???. Sarungkan dulu pedangmu itu, duduk yang tenang kita bicarakan dengan kepala dingin apa permasalahan dan bagaimana cara mengatasinya”. Resi Bisma adalah Begawan syarat pengalaman, kesaktian, kebijaksanaan, dan kepandaiannya tiada banding. ”Cucuku Prabu, apa permasalahan yang kamu hadapi Ngger??”

”Eyang Bisma, sebenarnya simple saja. Para punggawa kerajaan bodho semua. Atau mungkin tidak ada niat untuk bekerja secara serius dan professional. Kakek Bisma tahu, sekarang ini sepuluh hari lagi Pandawa selesai masa satu tahun penyamarannya. Dan kalau penyamaran itu sukses tanpa di ketahui oleh Kurawa, maka saya harus mengembalikan Amarta dan separo Kurawa !!!. Wah saya tidak mau itu terjadi, karena para punggawa tidak tahu di mana Pandawa berada, saya akan mencari sendiri..”

”Kemana kamu mencari ? Apa kamu tahu kira – kira ada di mana adik – adikmu Pandawa ???”

”Tidak…!!!”

”He he..he…, la terus kamu mau ke mana ???. Cucu Prabu, kalau masalahnya simple seharusnya solusinya tidak rumit juga. Adik – adikmu Pandawa sudah memenuhi komitmen awal yang kalian sepakati bahwa karena mereka kalah main dadu maka mereka sanggup menjalani konsekuensi akibat kekalahannya itu. Mereka tidak pernah mempermasalahkan bahwa permainan dadu itu sendiri pantas digugat karena Kurawa sebenarnya bertindak curang. Iya apa tidak ???…… Sangkuni telah membuat siasat untuk mencurangi Puntadewa sehingga Puntadewa kalah. Cucu Prabu……., Pandawa telah memenuhi janjinya, maka kamu sebaiknya juga harus bersikap legawa dan menerima kenyataan Amarta harus kamu kembalikan. Apalagi Amarta sejatinya adalah tanah dan kerajaan empunya Pandawa. Mereka dengan susah payah dan menerjang segala risiko, memeras keringat, menahan lapar dan haus, menjalani perang tanding yang tidak ringan guna membabat hutan Amarta menjadi Kerajaan Amarta. Kemudian mereka membangunnya sehingga kegemilangannya mengalahkan Astina yang ratusan tahun lebih dulu didirikan dan dibangun…………. Astina Pura, kalau dirunut – runut, sebenarnya kamu wajib mengembalikannya bukan hanya separo kepada Pandawa tetapi seutuhnya. Karena memang kerajaan ini hak mereka….., kamu tahu itu. Orang tuamu hanya menerima titipan saja dari Pandu, karena Pandawa masih belum akhil balik, Bapakmu yang memangku Pejabat Kerajaan. Dulu janjinya, kalau Pandawa sudah akhil balik kerajaan akan dikembalikan kepada mereka. Tapi apa yang terjadi ??? Karena pengaruh adik iparnya ya Sangkuni itu, Bapakmu tidak mengembalikan kerajaan kepada Pandawa tetapi malah mengangkat kamu menjadi Raja dan Kurawa berkuasa atas tanah dan kerajaan titipan pamanmu itu. Karena itu Ngger….., menerima dan legawa lah untuk mengembalikan hak Pandawa yang memang bukan milik kalian Para Kurawa. Dengan demikian permasalahan akan selesai, dan saya jamin kalian akan mendapatkan perlakuan yang baik dari Pandawa. Toh mereka hanya meminta separo kerajaan. Separo kerajaan lagi tetap dapat kalian miliki dengan tenang serta berketetapan hukum yang sah. Separo kerajaan Astina bukan main main, meskipun separo masih terbilang sangat luas. Masih ribuan pulau dengan luas samudra yang tidak terkira. Barang tambang padat maupun cair, kalian tinggal mengeruk. Tidak akan habis ratusan tahun ke depan…Apa lagi yang kalian harapkan, cucuku ………..????”

“Wahhhhh, Kakek ….!!! Sampeyan tidak perlu memberikan kuliah umum buat saya. Percuma, jangankan Kakek yang hanya Resi, Kepala Negara tetangga kita menguliahi kami para kurawa pun, kami tidur. Kakek…!!!!!! konon khabar yang terdengar di luaran Kakek punya kesaktian linuwih. Mengerti sebelum terjadi, tajam penglihatannya, peka pendengarannya, sekarang saya mau tanya, Apakah kakek tahu di mana Pandawa saat ini berada ??? Saya hanya butuh jawaban itu, tidak kuliah umum yang panjang lebar.”

“Oalah Ngger – nger…, Baiklah tapi aku tidak tahu di mana Pandawa. Kalaupun aku tahu di mana mereka berada, aku tidak akan mengatakannya kepadamu. Tapi Duryudono, Kakek tahu bagaimana tanda – tanda suatu tempat di mana kemungkinan para pandawa ada di situ”

“Bagus….!!!!! Kalau begitu ceritakan saja tanda – tandanya…Dengan begitu seharusnya pasukan intelejen Astina dengan pasti dapat mengetahui di mana para Pandawa berada”

“Begini kira – kira tanda – tanda itu. Kalau di suatu negeri, pemimpin dan penduduknya dekat dengan Allah, kalau pemimpin dan penduduknya rajin beribadah, bersikap jujur dan sederhana, dapat memegang amanat masing – masing, di situlah kemungkinan besar Pundatewa berada.

Kalau di suatu negeri, para pemudanya rajin bekerja, para pemudanya terampil dan trengginas, tidak hanya mengandalkan relasi dan koneksi serta potensi orang tua atau mertuanya untuk mendapatkan proyek, cepat bangkit dan tidak mudah putus asa, di situlah kemungkinan besar Bratasena berada.

Lalu…..jika di suatu negeri, kebudayaan, kesenian tumbuh subur dan diberi tempat yang layak oleh penguasa. Pencari dan pewarta berita dapat menunaikan tugasnya dengan tenang dan bertanggung jawab tanpa takut diberangus oleh penguasa, kira – kira di situlah Arjuna bertempat tinggal.

Selanjutnya, jika pertanian, peternakan dan perikanan di suatu negeri berkembang dengan baik. Bahan pangan nabati maupun hewani tersedia berlimpah dengan harga terjangkau, bahan bakar tersedia mencukupi dengan harga yang wajar, maka dapat diduga kuat Nakula dan Sadewa ada di situ….”

Belum sempat Resi Bisma menuntaskan pituturnya, tiba – tiba, menyeruak tamu yang tidak diundang ke tengah – tengah persidangan.

“Misi, misi, misi, saya mohon ijin untuk bertemu Sang Prabu Astina Pura. Perkenalkan nama saya [wah, saya harus inget2 lagi, lupa, sebut saja raja X] X, dari kerajaan Tri Hargo. Maksud kedatangan saya ke Astina untuk mengabdi dan mengajak bersekutu Raja Astina Pura”, begitu Si Raja ini menyerocos saja tanpa perlu ditanya – tanya dulu.

“He…ki sanak…Saya Raja Astina Prabu Duryudono! Tolong jelaskan apa maksudmu mengabdi dan mengajak bersekutu. Untuk apa dan dalam hal proyek mana ???”

“Waduh….Sinuwun, kebetulan saya langsung dapat berhadapan dengan Raja Astina. Begini Prabu….., saya dengar dari dulu Kerajaan Astina itu kerajaan besar, wilayahnya luas, pulaunya banyak, lautannya subur dengan sumber daya perikanan dan barang tambang tak terkira. Hutannya luas terbentang, penduduk berkecukupan hidupnya tanpa pernah kurang pangan dan sandang. Sudah sejak lama saya terkagum – kagum dengan kewibawaan dan kebesaran Kerajaan Astina. Sudah sejak lama saya ingin berkunjung, belajar dan magang bagaimana menjadikan kerajaan maju dan berkembang seperti Astina. Hanya saja…, mohon maaf Prabu, saat sekarang pamornya sudah agak memudar. Ibarat Matahari, sinarnya tidak terlalu terang lagi karena memasuki senja hari dan tertutup awan mendung. Kebesaran dan kemegahan Astina Pura tertutup dan terhalang kerajaan lain yang sebenarnya tidak terlalu besar dari sisi luas wilayah. Mungkin hanya sekitar kurang dari seperempat wilayah Astina. Saya dengar, dulu kerajaan ini belajar dari apa yang dilakukan oleh Astina. Sekarang….kenyataanya kerajaan ini jauh meninggalkan Astina. Bahkan saya dengar banyak seniman dan hasil kesenian Astina yang lebih berkembang di Kerajaan ini, Kerajaan ini pun dengan terang – terangan mengklaim bahwa beberapa hasil seni dan budaya Astina adalah milik dan hasil karyanya…..”

“Hei…hei….Sampeyan yang hati – hati kalau bicara. Kalau terbukti bicara sampeyan tanpa fakta saya bisa musnahkan sampeyan saat ini juga”. Dursasana kebakaran jenggot merasa tersinggung negaranya dilecehkan seperti itu. Biasa, memang wataknya untuk pukul dulu urusan belakangan.

“Sabar Raden, saya berbicara seperti ini tidak bermaksud merendahkan Astina. Justru saya ke sini untuk mengabdi dan bersekutu guna mengembalikan pamor Kerajaan Astina dibanding kerajaan tetangga ini”

“Kalau begitu, katakan Negara mana itu ? Dan bagaimana kamu membantu kami ?”, sergah Duryudono meredakan ketegangan antara tamu tak diundang ini dengan adik – adiknya yang mulai naik pitam.

“Baik Sang Prabu… Negara ini tidak lain adalah Wiratha. Di luar beredar khabar Negara ini lebih makmur dan berjaya daripada Astina Pura. Di pergaulan dunia, Wiratha disebut terdepan dari pada Astina…”

“Lalu, bagaimana caranya mengembalikan pamor Astina menurutmu ???”

“Solusi yang paling cepat adalah dengan menyerbu dan menghancurkan Wiratha. Ini sekaligus memperluas jajahan Astina Pura… ”

“Hmm…..menarik juga usulanmu itu. Tapi pamrih apa kamu dengan menyerbu Wiratha ??”

“Ha…ha….saya tidak pamrih apapun Prabu. Saya tidak hendak memperluas wilayah Tri Hargo, saya sudah merasa cukup dengan wilayah kerajaan saya meski tidak punya pantai dan laut. Saya hanya dendam dan sakit hati saja dengan Raja Wiratha. Tahun lalu, lamaranku terhadap putri satu – satunya Raja Wiratha ditolak. Saya merasa dipermalukan dan sakit hati sampai dengan saat ini. Oleh karena itu, saya ajak paduka bersama menyerang Wiratha, silakan ambil harta jarahan, wilayah jajahan, dan rampasan perang lainnya. Saya cukup memaksa putri kerajaan untuk menjadi istriku saja. Bagaimana, menarik bukan ?? Deal ???”

“Wahhh, iya sangat menarik itu. Tapi seyakin apa kita bisa mengalahkan Wiratha ? Apa kamu tahu mereka punya senopati kembar yang sulit ditandingi. Raden Rupa Kenca dan Kencaka Pura ???”

“Ha..ha….., jangan khawatir Prabu…Kedua senopati andalan Wiratha itu suah mampus, meninggal, was death. Konon kabarnya dibunuh oleh Gondoruwo, tapi Raja tidak percaya dia menuduh danyang kerajaan yang membunuh. Sekarang, danyang kerajaan itu sedang menunggu vonis hukuman mati…”

“Ah masak…, yang bener, kedua satria itu begitu sakti, bagaimana bisa tewas semudah itu???”

“Sang Prabu…, begini ceritanya…”

Dalang di layar tengah menghentikan adegan ini, cerita flashback Raja X digambarkan di pantulan bayangan pada layar dengan bantuan proyektor. Penonton melihat kelebatan bayang – bayang adegan cerita bagaimana meninggalnya kedua senopati kembar itu. Saya akan melanjutkan tulisannya lain kali….

Wiratha Parwa [1] April 10, 2008

Posted by Mujiono Sadikin in Cerita Wayang Mahabarata, Yang Aku Pelajari, Yang Aku Senangi.
2 comments

Lakon Wiratha Parwa ini mengisahkan ketika Pandawa menghadapi masa penyamaran satu tahun setelah sebelumnya harus mengasingkan diri ke tengah hutan selama 12 tahun. Ini akibat Puntadewa yang sangat suka bermain dadu kalah dengan Duryudana dalam adu dadu. Saat itu menjelang sepuluh hari berakhirnya masa penyamaran. Pandawa menyamarkan diri di Negari Wiratha. Puntadewa, Kakak tertua Pandawa menyamar menjadi Lurah Pasar dengan nama Wija Kangko, Wrekudara menyamar menjadi petugas penjagal hewan ternak dengan nama Jagal Abilowo. Janaka menjadi waria yang mengajar karawitan dan tari di Keputrian Kerajaan Wiratha. Nakula menjadi penggembala dan pengurus Kuda, namanya Kinten. Sadewa jadi penggembala hewan ternak unggas menggunakan nama Pangsen.

Layar tengah sebagai kelir utama mementaskan sidang Kerajaan Astina Pura dipimpin Duryudono yang sedang marah – marah karena misi memusnahkan Pandawa tidak pernah berhasil.

“Paman Sangkuni…!”

“Dalem Angger Prabu”

“Paman itu sudah tua, tapi tetap saja bodho…Nggak becus, buat paman sudah saya sediakan semua fasilitas yang paman minta, uang saku, komisi, bonus meskipun belum kerja. Apa lagi yang kurang???. Tunjangan tiap proyek juga tidak pernah telat ! Tapi mengapa proyeknya tidak pernah close ?!!! Selalu over time, over budget, bahkan never ending story !!. Proyek pertama, katanya akan meracuni Pandawa, bukan teler yang didapat Pandawa tetapi mereka malah kuat! Proyek ke dua, Pandawa dan Drupadi dibakar hidup – hidup dalam edisi Balai Sigolo – golo. Fail!!!! Bukan pandawa yang mati terbakar hidup – hidup, malah lima kere yang nggak berguna tewas. Tapi dengan bangganya sampeyan laporan proyek berhasil dengan sukses dan seksama. Karena sesuai estimasi dan selesai lebih cepat dari rencana, sampeyan minta tambahan bonus. Saya Kasih…..Tapi, apa kenyataannya… Pandawa masih hidup dan sehat wal afiat. Paman minta satu kesempatan lagi untuk mengajukan proyek berikutnya, sebenarnya saya males. Tapi karena tidak ada yang lebih dari sampeyan, paling tidak lebih licik dan cerdik, maka saya ikuti proposal dan bugdet sampeyan. Saya langsung paraf dan tanda tangan. RKS/TOR dan HPS Proyek penjerumusan Pandawa di Hutan Amarta saya setujui …!!! Di Proposal sampeyan, dengan meyakinkannya Pandawa pasti akan tewas karena hutan itu terkenal wingit, gung liwang – liwung, banyak demit dan memedi yang siap memusnahkan jalma manusia. Hutan itu terkenal dengan keangkerannya, siapapun yang ke sana, pasti hanya tinggal nama !!! Gila…gila. Proyek fail, gagal total. Budget habis, hasil nol besar. Padahal aku tahu, banyak unsur yang Paman Mark Up…Uang SPPD tidak sesuai aturan, kuitansi kosong, tiket palsu….Oakay.. saya tutup mata. Karena memang tidak ada yang lebih dari Paman. Semua prajurit dan punggawa juga sesepuhku bodho semua. Paman juga bodho, tapi kelebihan paman karena sampeyan licik dan culas saja. Yang saya dapat, pandawa lecet sedikitpun tidak. Malah dapat kerajaan Jin Amarta dan kekuatannya berlipat – lipat karena masing – masing pandawa dapat tambahan kekuatan dan kesaktian satu jin.”

”Mohon maaf angger, saya tidak akan mengulangi lagi…”

”Mblegedhesssss……………..Hanya maaf dan sorry yang bisa paman sampaikan, katakan. Tidak adakah kata – kata yang lebih bernas !!!” Sangkuni diam seribu basa!

”Bapa Drona !!!” Duryudona mengalihkan sasaran kepada Begawan Drona

”Sendika Anak Prabu…”

”Saya tahu….Sebenarnya Bapa Drona lebih sayang dan cinta kepada adik – adik pandawa daripada kepada Kurawa. Badan dan raga paman di Astina, tetapi hati dan pikiran Paman di Amarta…, saya tahu itu. Katanya Bapa itu guru sebala guru…”

Ok…sebentar…, training Bea Dulu…:)

Kresna Gugah, berikutnya [4] Maret 23, 2008

Posted by Mujiono Sadikin in Cerita Wayang Mahabarata, Yang Aku Senangi.
add a comment

Duryudana berniat memaksa Kresna untuk menuruti kemauannya diboyong ke Astina guna mendampingi Kurawa dalam perang Baratayuda.

”Dinda Kurupati, ada apa lagi ??”, tanya Kresna.

”Begini Kakang Prabu, aku berniat mengubah pilihanku. Aku tidak mau seribu raja. Aku hanya menginginkan Kakang Prabu Kresna saja. So, mari kita sama – sama ke Astina Kakang”

”He..he…he, Dinda…anda itu raja lo. Katanya raja segala raja, wilayahmu luas, jajahanmu banyak, Dinda juga didampingi penasehat dan pinisepuh yang mumpuni. Malu, kalau sampai tidak komitmen dengan apa yang Dinda katakan. Tidak pantas bagi seorang raja besar seperti Dinda untuk cidera janji….”

”Sudah…aku tidak peduli. Mau tidak mau Kanda Prabu harus ikut aku ke Astina sekarang juga”

”Wrekudara, kalau menurut kamu gimana Dik??”, Krena menanyakan kepada Wrekudara. Wrekudara yang marahnya sudah sampai ubun – ubun tidak bisa menahan lagi. Tanpa basa – basi, diterjangnya Prabu Kurupati. ”Waa…….Kakang Kurupati….., memang kamu tidak pantas menjadi Raja. Minggat !!!!!!”. Dengan sekali tendang, Kurupati melayang. Kurupati mencoba melawan, menghindar dan menangkis. Namun Wrekudara memang bukan lawan yang seimbang buat Duryudana kali ini. Duryudana menjadi bulan – bulanan Wrekudara.. Adegan ini disaksikan juga oleh patih Sangkuni. Sesaat sebelum Wrekudara sempat melihat Sangkuni dari jauh, Sangkuni sudah lari tunggang langgang mengadu kepada Baladewa.

”Wah…wah…, cilaka dua belas Sang Prabu Baladewa….Hamba mengaturkan berita duka dan mengecewakan paduka”

”Sangkuni, orang tua, apa lagi ???”

”Begini Prabu, Adinda Prabu Kurupati dihajar habis – habisan oleh Wrekudara”.

”Biarin aja, orang Raja nggak tahu diuntung. Kalian Kurawa memang tidak mengerti rasa hormat, aku sudah tidak peduli lagi”

”Lo…lo…lo…., jangan begitu Prabu Baladewa. Kalau hanya menganiaya Prabu Kurupati apalagi menganiaya saya, Patih Sengkuni tidak masalah Prabu. Cuman yang Sengkuni sayangkan kok Wrekudara membawa – bawa nama Paduka Prabu Baladewa…Wah itu yang saya tidak bisa terima..”

”Kamu bicara apa ?? Memangya ngomong apa Wrekudara tentang diriku???”

”Iya, memang Wrekudara khan temperamental begitu Sang Prabu….Maka sambil menghajar Prabu Kurupati, Wrekudara menantang Paduka. Begini katanya…’Hayo jangan hanya Duryudono dan Sangkuni yang maju. Semua Kurawa suruh maju ke sini….biar aku habisin semuanya. Kalau perlu suruh ke sini Raja Mandura kakak kalian itu, aku tidak takut. Apanya yang ditakuti dari Baladewa. Jangankan cuman satu, sepuluh Baladewa, Wrekudara tidak akan mundur. Baladewa hanya menang bacot saja…Hayo…suruh ke sini orang tua itu’, masak dia berani – beraninya bicara seperti itu Prabu…”

”Kurang ajar, Wrekudara………….!!!! Aku yang datang. Kamu dulu belajar olah trengginasnya menggunakan senjata gada, berguru ke Baladewa. Sekarang kamu mencak – mencak nantang aku. Sudah kuwat tulang ototmu ya…????!!!! Hayo kita perang tanding, kita lihat siapa yang akan dapat malu…”. Memang Baladewa terkenal pemarah. Bertindak dulu baru berpikir. Apalagi dalam kondisi sedang marah. Ibarat bensin ketemu api, sedikit percikan saja langsung berkobar – kobar. Terlebih Sangkuni memang ahlinya dalam provokasi, maka Baladewa langsung bertindak tanpa pamitan. Tinggal Sangkuni yang tertawa girang karena merasa menang.

Wrekudara hanya menangkis saja mendapat serangan bertubi – tubi dari Baladewa. Tanpa membalas.

”Hayo…katanya kamu kuat, katanya kamu paling perkasa di seantero Jagad Amarta. Mana….???!!! Tunjukkan kekuatanmu Wrekudara! Jangan hanya menangkis. Kalau kamu memang laki – laki sejati, tunjukkan kesaktianmu!!! Mana Gada Rujakpolo mu yang katanya bisa membinasakan seribu gajah sekali ayun. Ayoooo keluarkan, gunakan !!!! Kita adu dengan Nenggala Kunta! Senjata pamungkas Mandura…”

Melihat Badewa semakin kalap dan siap dengan Nenggala Kunta nya, Wrekudara sebenarnya berniat meladeni dan membalas serangan itu. Apalagi bagi dirinya, pantang menghindar dari peperangan. Jangankan Prabu Baladewa, dulu ketika lakon Pandawa ngenger, Raja Raksasa Imantaka pemakan manusiapun dihadapinya dan hanya Wrekudara yang bisa mengalahkan raja raksasa yang lalim itu. Maka sebenarnya bukan perkara sulit bagi Wrekudara untuk melayani tantangan Baladewa. Tetapi Wrekudara ingat siapa Baladewa dan bagaimana perangainya. Baladewa adalah Kakak Kandung Sri Kresna. Dia juga guru Wrekudara untuk olah kanuragan penggunaan senjata gada. Wrekudara memilih lari dan mengadukan kepada Sri Kresna.

”Waaa…….! Hitam Kakangku, itu Baladewa ngamuk. Apa – apa dihantam dengan gadanya. Kalau tidak karena Kakang Kresna, orang itu sudah aku hajar habis….”

”He…he…he.., sabar Dik. Kamu kok seperti tidak tahu saja bagaimana perangai Kakang Baladewa. Sekarang kamu hadapi lagi Kakang Baladewa. Tapi begini, nanti kalau dia mengayunkan gadanya kamu hindari.”

”Waa…memalukan….!! Seumur – umur tidak pernah aku dalam perang menghindari senjata lawan. Nggak mau, biar aku hadepi saja kalau perlu aku rebut dan aku balas. Kalau kamu merestui, biar aku selesaikan Kakang Baladewa itu…”

”Sudah lah Dik, kamu ikut saja apa kataku kali ini”

”Begitu ?, Ya sudah, aku ikut saja”

”Nah, harusnya begitu….Sudah sana hadapi lagi Kakang Baladewa”

Kembali Wrekudara menghadapi Prabu Baladewa yang masih mengamuk dan berteriak – teriak.

”Ha..ha..ha.., aku kira kamu benar – benar lari tunggang langgang. Ternyata kamu masih punya nyali Wrekudara..!!!! Hayo, kamu hadapi gurumu ini. Berani kamu menerima pukulan Nenggala Kunta ???”

”Waa….bukan watak Wrekudara melarikan diri dari peperangan. Sini, cepat kamu ayunkan Nenggala Kunta mu. Wrekudara ingin lihat….sesakti apa gada Kakang Baladewa itu”

Syahdan, dengan sekuat tenaga Prabu Baladewa mengayunkan Gada Nenggala Kuntanya. Secepat kilat ayunan itu, tetapi lebih cepat Wrekudara menghindar. Gada menghujam keras ke tanah. Saking kerasnya senjata tumpul itu sampai menancap lebih dari separo ke dalam bumi. Bebarengan dengan menancapnya gada Nenggala Kunta, keluar kobaran api dari bumi tempat nenggala Kunta menancap. Prabu Baladewa dengan sekuat tenaga mencoba mencabut senjatanya. Tidak bisa tercabut. Tiba – tiba terdengar suara menggelegar memenuhi angkasa.

”Hai…Baladewa………..!!!! Kamu memang tidak tahu diri, apa salahku, bumi ini ????. Sehingga kamu tega menganiaya aku dengan gadamu. Aku bumi, sudah memberikan tempat hidup dan sumber penghidupan bagi kamu, manusia dan semua makhluk di atasnya. Tapi mengapa kamu bersikap anaiaya kepadaku ?? Aku tidak terima atas perlakuanmu..Dengan disaksikan jagad seisinya, aku bersumpah….suatu saat nanti menjelang kematianmu. Kamu akan dijepit bumi dengan penuh penderitaan ….!!!!!! Saksikanlah itu. Ini gadamu aku lepaskan kembali ….!!!”

”Waduh…cilaka aku….Mengapa kejadian ini harus menimpaku……..! Waduh dosa apa aku? Aku tidak mau matiku dengan cara seperti itu. Adikku Kresna………..aku yang datang Dik, mohon pertolonganmu Dinda”. Baladewa menemui adiknya dan menceritakan apa yang dialami dengan perasaan bersalah, rasa takut, dan penyelasalan yang mendalam. Di wajahnya terlihat kengeriaan yang luar biasa menghadapi kematiannya nanti.

”Kakang prabu, itu semua memang salah Kakang Prabu Baladewa. Kakang Prabu harus bersabar menerima balasannya. Cara kematian seperti itu merupakan sarana Kakang Prabu menebus dosa, jadi beban di alam akherat nanti tidak terlalu berat Kakang tanggung”

”Wah iya Dik, tapi tidak adakah cara lain selain dijepit bumi ???? Apakah Kakang tidak bisa membayar denda yang lain selain siksaan seperti itu ???? Tolong lah Dik…..Aku benar – benar tidak mampu membayangkan sakit, pedih dan malunya mengalami seperti itu”

”Hmmm iya kakang, sebenarnya ada cara lain untuk menebus sumpah Bumi tadi. Yaitu Kakang Prabu harus bertapa mandi di Grojokan Sewu. Bagaimana Kakang ???”

”Ya aku sanggup, lebih enak bertapa mandi daripada dijepit bumi. Tapi berapa lama…???”

”Kakang, kakang harus bertapa mandi sampai dengan mekarnya Bunga Teratai di kolam sekitar grojokan itu. Apa Kakang sanggup ??”

”Ya, Kakang sanggup…”

”Baiklah kalau begitu, untuk menjaga tapa brata Kakang, biarlah keponakan Kakang, Si Samba nanti yang menjaga di luar dan akan mengabarkan kepada Kakang kalau Bunga Teratai sudah mekar. Samba, tolong kamu jaga Uwak Prabu anakku”

”Baik lah Kanjeng Rama”

Baladewa dengan diantar Raden Samba menuju grojokan sewu yang merupakan hilir suatu sungai yang hulunya dekat Tegal Kurusetra tempat digelarnya Perang Baratayuda.

Karena tapa brata jauh dari Tegal Kurusetra inilah, Prabu Baladewa tidak sempat menyaksikan dan mengalami Perang Baratayuda yang sebentar lagi digelar. Kelak di akhir tapa bratanya, Prabu Baladewa melihat dan merasakan sisa – sisa perang besar itu. Darah, ceceran daging manusia maupun hewan kendaraan perang dan juga potongan – potongan senjata perang banyak yang terhanyut di sungai itu dan mengalir ke grojokan tempatnya bertapa.

Sampai di sini cerita Kresna Gugah….Kresna berhasil mengemban amanah dewa untuk menyelesaikan masalah Antareja dan Prabu Baladewa yang belum terakomodir di skenario perang Baratayuda. Mudah – mudahan segera ada tontonan wayang lagi. Sehingga saya bisa menuliskan apa yang saya tonton. Memang bisa saja saya membaca dari kisah – kisah Mahabarata. Tetapi ”mengalami” pagelaran wayang adalah sensasi yang berbeda buat saya.

 

Kresna Gugah…Selanjutnya[3] Maret 23, 2008

Posted by Mujiono Sadikin in Cerita Wayang Mahabarata, Yang Aku Senangi.
add a comment

Kembali ke padepokan Jalatunda tempat Sri Kresna melakoni tapa brata. Karena kangen dengan Sri Kresna, para Pandawa dengan diantarkan punakawan mencari Sri Kresna sampai di pertapaan Jalatunda. Ingat geng Udawa dkk yang menjaga pertapaan Jalatunda? Menghadapi siapapun yang punya niat mendekati tapa brata Sri Kresna, dijamin geng ini akan dapat mengembalikan sebelum si empunya niat mencapai tujuannya. Tapi menghadapi Pandawa apalagi dengan didampingi Semar Badranaya, geng ini tidak dapat berbuat apa – apa kecuali membiarkan kekasih Prabu Kresna ini meneruskan niat mereka.

Maka sampailah rombongan Pandawa di samping tempat Prabu Kresna berbaring bertapa sare. Satu per satu mulai dari Puntadewa, Wrekudara mencoba membangunkan tidurnya Sang Ratu. Semuanya gagal. Semar yang sejatinya merupakan titisan Dewa Ismaya menyarankan Janaka untuk membangunkan Sri Kresna dengan cara yang dia sendiri yang tahu. Janaka mulai mengheningkan cipta, mengosongkan pikiran, melepaskan segala nafsu dan perasaan duniawinya. Konon Janaka memang orang yang paling dekat dengan Sri Kresna. Sewaktu muda mereka berguru bersama, Narayana adalah kakak seperguruan Arjuna, nama muda Janaka. Salain kakak seperguruan, Sri Kresna merupakan guru olah kanuragan dan guru kebatinan Arjuna. Mereka sangat kompak dan saling mengasihi satu sama lain. Sri Kresna juga kakak ipar Arjuna dari istrinya Wara Sembodro. Maka Arjuna sangat tahu gaya Sri Krsena dan bagaimana menyikapinya.

Syahdan, ruh Arjuna lepas dari badan fisiknya, mengangkasa menuju Kahyangan Suralaya. Tidak seberapa lama Arjuna dapat mengejar Narayana di alam lain. Terjadi perang tanding antara keduanya disebabkan Narayana tidak bersedia menuruti permintaan Arjuna untuk kembali ke bumi. Sejatinya Naryana hanya menguji keteguhan Arjuna dalam mengharapkan kembalinya Narayana. Beberapa saat terjadi adu kesaktian yang tidak sampai saling melukai keduanya. Dan kembalilah ruh keduanya ke badan fisiknya masing – masing. Sri Kresna telah selesai melaksankan tapa brata untuk kebaikan ummat dan dunia. Di pertapaan Jalatunda, sudah datang pula Antareja. Satria Swarna Bumi putra Raden Wrekudara dari istrinya Naga Gini.

Setelah basa – basi sebentar dan saling melepaskan rindu, berujarlah Sri Kresna kepada para Pandawa.

”Adik – adikku, syukur mangayu bagya aku telah selesai melaksanakan tapa brata dan berhasil mendapatkan petunjuk untuk kebaikan kita semua. Saya perlu katakan kepada kalian, bahwa perang baratayuda tidak dapat sedikitpun dihindarkan. Kelihatannya sudah menjadi takdir yang Maha Berwenang bahwa kalian semua akan menghadapi perang besar itu melawan saudara kalian sendiri sesama darah Kuru. Sekali lagi aku perlu menanyakan kepada kalian, apakah benar – benar kalian mempercayai aku untuk menjadi pendamping kalian di perang besar itu ?”.

Wrekudara menjawab,”Waaa…, seperti anak kecil pertanyaanmu!. Mengapa Si Hitam Kakangku, kamu masih menanyakan pertanyaan itu? Kurang apa keyakinan kami berlima kepadamu? Kalau tidak karena kami sangat mengharapkan Kakang mendamping kami, mengapa kami repot – repot menyusul Kakang ke sini ? Waa….orang tua nggak bisa dihormati kalau begitu”.

”He..he…yang sabar to Werkudoro, aku ini khan hanya pamong yang menguji keseriusan pemain utama terhadapku. Ya sudah, tidak usah diperpanjang lagi diskusi masalah ini. Terimakasih kalau kalian tetap mempercayai aku. Hanya saja, ibaratnya orang berjalan, semakin lama semakin berat beban yang sama – sama kita tanggung. Jadi kalian harus siap mengorbankan apa pun yang kalian punyai untuk kebenaran dan kepentingan dunia. Terutama kamu adikku Wrekudara, tidak terlalu lama lagi kamu akan mendapatkan cobaan yang sungguh berat. Tetapi itu tidak akan sia – sia adikku. Karena pengorbananmu bukan hanya untukmu, tetapi untuk kebaikan ummat manusia. Kamu siap Wrekudara ??”

”Waa…, siap. Aku dari dulu sudah selalu menderita dan berkorbarn. Jadi mengapa aku takut menderita dan berkorban lagi saat ini ?? Aku percaya kepadamu Kakang”.

”Hmm…iya. Bagus adikku.”

Tanpa permisi, Petruk menyeruak masuk ke padepokan. ”Ada apa Petruk, larimu kayak dikejar anjing gila saja”, tanya Kresna.

”Anu sinuwun, di luar ada Raja dan para tentaranya mengamuk. Tanaman dan tegalan dibabat, penduduk dianaiaya, hewan – hewan ternah dijarah dan dibunuh. Katanya raja ini menuntut balas atas kematian ayahnya yang dulu tewas di tangan Sinuwun Prabu Kresna”.

”We la dalah, kelihatannya bukan maunya sendiri ini anak. Antareja, ini tugas muliamu anakku. Kamu bisa membereskan masalah ini ngger ?”.

“Sendika dawuh Uwak Prabu”. Antareja yang masih merasa kecewa dan sakit hati karena tidak diberikan tugas sebagai senopati perang, merasa tertantang untuk menghadapi kemarahan Raja tak diundang ini (Wah , saya lupa lagi nama raja ini). Diskuri di ruangan padepokan bubar, masing – masing mempersiapkan diri dan menyaksikan dari jauh krida Antareja.  

Terjadi pertempuran yang sangat tidak seimbang antara Antareja dengan pasukan Raja Sebrang ini. Dengan kesaktian yang dimiliki, Antareja dengan mudah membinasakan musuh – musunya tanpa berpeluh. Setiap bekas telapak kaki musuhnya di tanah dijilat oleh Satria ini, seketika si empunya bekas telapak kaki tewas. Apalagi Antareja dapat menembus bumi, sehingga pergerakannya sedikitpun tidak dapat dideteksi oleh musuh – musuhnya. Raja sebrang dan sebagian besar pasukannya tewas, sisanya lari tunggang langgan menyelamatkan diri setelah melihat teman-2nya bergelimpangan, mati tanpa sebab.

Menyaksikan pertandingan tidak seimbang ini, Prabu Kresna geleng – geleng kepala, dan berguman dalam hati.

“We la, Antareja – Antareja, sangat kelihatan kamu mencari muka anakku. Kalau hal ini dibiarkan, ya bakal merusak tatanan. Kurawa akan habis dalam sehari kalau sampai Antareja terjun di medan perang Baratayuda. Ya sudah ngger anakku, memang sudah waktunya selesai pengabdianmu. Semoga kamu mendapatkan balasan yang setimpal anakku”.

Sri Kresna mendekati Antareja.

“Antareja, anakku”

“Sendika dawuh Uwak Prabu, semua musuh sudah saya binasakan Wak. Dengan kesaktian yang saya miliki, saya membuktikan dapat mengemban tugas seberat apapun Wak”

“Ya..ya, aku tidak heran anakku. Kamu memang satria pilihan, tanpa lawan dan tidak diragukan lagi kesetiaan dan pengabdianmu. Tapi anakku, aku masih punya musuh”

“Oh ya???, Mana wak, tunjukkan kepada anakmu ini. Akan saya binasakan musuh Uwak Prabu sekarang juga”.

“Tapi orangnya sudah lari, dan tidak kelihatan lagi”

“Apakah Uwak sempat melihat bekas telapak kakinya. Buat Antareja cukup dengan bekas telapak kaki dapat menewaskan musuhnya”.

”Iya, Uwak tahu bekas telapak kakinya…”

”Tunjukkan kepada ku Wak’

Sri Kresna membimbing Antareja dan menunjukkan satu telapak kaki seorang satria.

”Antareja, ini bekas telapaknya kakinya itu”

”Sebentar Wak, ini sepertinya bekas telapak kaki hamba lo”

”Lo iya to, masak sih ?”

”Iya Wak, ini hamba pas kan kaki hamba, sesuai”

”Hmm kalau itu kamu jilat, bagaimana ?”

”Saya akan mati Uwak”

”Hmm…, jadi kamu takut mati ? Antareja….bagaiman Pandawa akan memilih kamu untuk menjadi senopati kalau kamu takut mati anakku ?. Antareja, pengabdian dan kesetiaanmu kepada kebaikan dan kebenaran juga kepada pepundenmu para Pandawa tidak harus dengan menjadi senopati di Medan Perang Baratayuda ngger. Pengabdian dan kesetianmu bisa kamu tunjukkan kapan saja bahkan tanpa perlu orang lain tahu. Antareja, menurut perhitungan dan pendapat Uwak, pengabdianmu sudah lebih dari cukup dan sudah selesai waktunya. Dengan membinasakan Raja sebrang dan tentaranya tadi, kamu sudah membantu Pandawa dengan mengurangi kekuatan Kurawa ngger. Maka menurut yang Berwenang sudah cukup pengabdianmu di dunia”

”Aduh Uwak Prabu, maafkan semua kesalahan dan arogansi hamba selama ini. Saya baru mengerti sekarang mengapa saya diabaikan dalam pemilihan senopati. Semua karena kesombongan dan rasa besar diri hamba. Uwak Prabu, saya mohon doa restu, salam taklim hamba untuk Pepunden hamba Pandawa. Uwak Prabu, saya titip anak saya yang masih kecil Sanga sanga”.

”Iya ngger, uwak doakan demi kebaikanmu keluargamu, para pandawa, dan anakmu Sangasanga akan menjadi tanggungan Uwak agar menjadi satria yang berguna untuk keluarga, bangsa dan agamanya seperti kamu Bapaknya Ngger”

Antareja tanpa ragu, menjilat bekas telapak kakinya sendiri. Gugur mengorbankan raga dan nyawanya demi berjalannya skenario para dewa untuk perang baratayuda yang fair dan memenuhi tatanan perang yang sesungguhnya.

Wrekudara tentu saja sangat sedih mengetahui anak kesayangannya gugur, hampir – hampir dia tidak mampu menguasai diri. Wrekudara juga menantang kesaktian Sri Kresna untuk menggunakan ajian Kembang Wijayakusuma untuk menghidupkan anaknya. Tetapi Kresna sudah tidak memegang ajian itu lagi.  

”Sudah Wrekudara, semuanya hanya menjalankan kodrat yang sudah dituliskan. Kita hanya bisa menjalani dengan cara darma kebaikan. Saya sudah katakan beberapa waktu yang lalu, cobaan ini akan semakin berat. Dan kamu, adikku yang paling kuat yang paling sentosa akan mendapatkan cobaan yang paling besar diantara para pandawa. Seperti biasanya, kamu harus tegar adikku. Sebentar lagi baratayuda digelar. Masih banyak yang harus kalian urus. Sekarang, biarkan jasad antareja kita urus sesuai dengan agaman dan kepercayaannya”.

Duka itu pelan – pelan telah pergi. Belum sempat sepenuhnya mereka beristirahat setelah mengurus jenasah Antareja, Petruk kembali membawa kabar.

”Ada apa lagi Truk?”, tanya Sri Kresna.

”Anu Sinuwun Prabu, kita kedatangan tamu. Prabu Suyudono menghadap dengan didampingi Pandita Druna. Bagimana sinuwun ??”.

”We la…ya sudah, nggak apa – apa. Kamu matur ke Prabu Suyudono, bilang aku mau menemui beliau di luar. Tapi jangan ada Kakang Druna.”

”Siap Komandan !”.

”Wrekudara, kamu ikut aku Dik menemuai Kakangmu Prabu Suyudono”.

Tanpa didampingi Pandito Druna, Prabu Duryudono betemu dengan Sri Kresna.

”Apa khabar Adi Prabu ??”, sapa Prabu Kresna.

“Baik Kakang, tidak usah basa – basi Kakang Prabu Kresna, to the poin saja. Kedatangan saya ke sini sejatinya inging memboyong Kakang Kresna ke Astina. Saya sudah siapkan tempat yang nyaman, makanan berlimpah enak – enak, hiburan segala rupa, apapun yang Kakang Kresna maui.”.

“Sebentar to Di, buat apa adinda ingin memboyong Kakang ke Astina?”

“Untuk membeking Kurawa dalam Perang Baratayuda. Sebab saya yakin kalau Kakang ada di pihak kami, Kurawa akan menang perang. Dan Pandawa akan tertumpas habis. So, mari Kakang segera saya iringkan ke Astina.”

“Sabar dulu adinda, coba dipikir yang matang, dipertimbangkan dengan seksama. Saya punya tawaran untuk adinda yang barangkali lebih menarik”.

“Tawaran apa itu ??”

“Adinda, dewa sudah menyiapkan seribu raja lengkap dangan panglima perang, tentara dan perlengkapan perang masing – masing untuk membantu pihak yang mau dalam perang besar nanti. Jadi mana yang adinda pilih Kresna satu, tanpa prajurit, tanpa senjata atau seribu raja lengkap dengan tentara dan perlengkapan perangnya ?”.

“Hmmm…menarik juga tawaran Kakang itu?”.

“Ya..ya, tapi tolong adinda pikir masak – masak, tidak perlu terburu-2, saya bisa menunggu jawaban adinda saat ini”.

“Ha..ha…, saya pilih seribu raja dengan tentara – tentara dan senjatanya!”.

“Yang benar pilih Kresna atau seribu raja ?”

“Seribu raja !!”

“Sekali lagi, seribu raja atau Kresna??”

“Tetap seribu raja!”

”Sudah yakin dengan pilihan itu ??”

”Yakin 100 % !!”.

”Baik adinda, Sabda pandita ratu tidak bisa diralat – ralat. Para Dewa dan jagad seisinya ini menyaksikan janji Adinda”.

“Ha…ha….baik Kakanda !”

Seperti mendapat lotere, merasa benar dengan pilihannya mendapatkan dukungan seribu raja dengan pasukan dan perlengkapan senjata masing-masing, Duryudono kembali ke perkemaham dengan berjingkrak – jingkrak, menari – nari dan berdendang ria. Duryudono menyombongkan apa yang diperoleh kepada Pandita Druna.

“Yes..yes..yes….! Bapa Druna…!!! Misi aku berhasil!!!.”

“Syukur alhamdullillah angger, bagus sekali. Lo la mana Prabu Kresna ??”

“Guoblok!!! Siapa bilang aku bawa Prabu Kresna. Bukan Prabu Kresna yang aku bawa, tapi kita akan mendapatkan seribu raja dengan tentara dan perlengkapan perangnya masing – masing.”

“Sebentar – sebentar….Ceritanya bagaimana to Ngger ?”. Berceritalah Duryudona mengenai apa yang terjadi dan pilihannya kepada seribu raja.

“Waduh ngger, ketiwasan. Hu…hu…hu….Kok bisa begitu ngger??? Wong sudah jelas – jelas diberi pilihan prabu Kresna. Kok ya milih yang lain….Udah ketahuan yang lain nggak setia…Kok ya dipiliiiiiiiiih gitu lo. Gimana to ngger……., wong sudah diwanti-2. Ini wangsit dewata buat Bapa Druna! Hu…hu….hu…. Siapapun yang dapat memboyong Kresna dia menang. Oalah…kok malah lebih cinta yang lain..”.

“Wush…! Malah nangis kayak bayi kelaparan. Coba dipikir Bapa. Kita bakal dapat seribu raja, SERIBU plus panglima, tentara dan senjata. Hanya orang bodho yang milih satu orang.”

”Iya ngger, kalau satu orangnya bukan Kresna. Ini Sri Kresna ngger, titisan Dewa Wisnu. Yang mampu tiwikrama berubah rupa menjadi raksasa segedhe Gunung Semeru. Apa artinya seribu raja menghadapi tiwi krama Sri Kresna. Lama mijit buah ranti ngger, para rajamu itu akan dipithes satu – satu oleh Sri Kresna yang tidak mempan senjata. Akan habis juga berapa ribu pun tentara dan pasukan yang menghadapi Sri Kresna”.

”Walah, cilaka Bapa. Terus gimana dunk ??”

”Sana, kembali lagi. Ralat pilihan…Milih Sri Kresna  meskipun cuman satu”.

Kembali Duryudona menemui Sri Kresna, dengan tujuan meralat pilihan. Waktu sudah tidak dapat diputar, nasi sudah menjadi bubur. Pilihan tidak mungkin ditukar kembali. Maka Prabu Duryudono berniat memamaksakan kehendak. …