jump to navigation

Urusan buku pelajaran sekolah yang –terasa- dipersulit.. Juli 11, 2008

Posted by Mujiono Sadikin in Untuk Anak - anakku, Yang Aku Pikirkan, Yang Kami Kerjakan.
add a comment

Bagi orang tua yang mempunyai anak kemriyek serta di tengah – tengah tuntutan pemenuhan kebutuhan sekolah dan turunannya, waktu Bulan Juni – Juli seperti ini adalah masa – masa melelahkan. Urusan apa lagi kalau bukan urusan mencari sekolah, perlengkapan serta uba rampenya yang lain. Anak kami tiga, yang paling besar, Ani, lulus SD tahun ini dan –Alhamdullilah- sudah mendapatkan sekolah SMP-IT boarding school. Adiknya, Fauzan, naik kelas 6 di satu SD-IT yang sama dengan kakaknya, memang jarak antara yang no 1 dan no 2 hanya 16 bulan. Sedangkan yang paling kecil, Hafiz, sudah “diwisuda” dari TK- B dan sudah mendapatkan sekolah SD-IT dekat rumah.

Memikirkan sekolah mereka, terus terang kepala menjadi sakmumetan juga buat kami. Hanya saja, syukurnya semuanya masih bisa kami atasi. PR pertama adalah mencarikan sekolah yang sesuai bagi Hafiz dan Ani. Inipun cukup sulit, karena mohon maaf tidak seperti kami dulu, sekolah buat mereka tidak asal sekolah. Kalau kami dulu, bisa sekolah saja sudah syukur. Bahkan untuk saya sendiri sewaktu SD, sekolah yang mencari – cari saya supaya mau berangkat sekolah. Menyadari tantangan dan kompetisi yang dihadapi anak – anak kami jauh lebih berat daripada kami dulu, maka lingkungan pendidikan buat mereka pun harus mempunyai standard yang lebih “tinggi”. Terus terang pertimbangan kami yang pertama adalah bukan sekolah elit dengan standard pendidikan “duniawi” yang tinggi. Urusan kecerdasan dan kepandaian ilmu dan prestasi duniawi anak – anak kami, bagi kami merupakan pertimbangan nomor 2, yang pertama kami pikirkan adalah akhlak dan pengetahuan agama (Islam) anak – anak. Oleh karena itu – dan menyadari pengetahuan akhlak dan ageman agama Islam orang tuanya agak kacau J -, dari TK sampai SMA nantinya kami usahakan lingkungan pendidikannya bernuansa Islami. Jadi dengan usaha dan ongkos berapapun asal masih dalam taraf kemampuan kami, maka pendidikan berwawasan Islam bersifat mutlak buat anak kami. Karenanya proses mencari sekolah Islam buat Haifiz, apalagi Ani adalah pekerjaan yang cukup merepotkan dan melelahkan baik dilihat dari keringat maupun biaya yang harus dikeluarkanJ.

Selesai urusan sekolah baru Ani dan Hafiz, perhatian akhir pekan kemarin beralih ke kenaikan kelas Fauzan ke kelas 6. Pertama adalah masalah buku pelajaran. Ketika sebelumnya mendengar khabar bahwa DIKNAS akan menggratiskan buku pelajaran dengan menyediakannya secara elektronis, saya sedikit lega karena paling tidak beban membeli buku pelajaran akan berkurang. Tetapi saya kecele. Pertama daftar buku elektronis yang disediakan Departemen Pendidikan Nasional berupa BUKU SEKOLAH ELEKTRONIKA di http://bse.depdiknas.go.id/ sampai dengan saat ini (11-Juli-2008) untuk kelas 6 hanya berisi dua buku Matematika dan Bahasa Indonesia. Kedua, kedua buku yang disediakan di situs tersebut sama sekali tidak masuk dalam daftar buku paket yang diberikan sekolah Fauzan. Yang saya dengar, Depdiknas telah mengeluarkan kebijaksanaan standardisasi buku paket yang digunakan sekolah. Buku – buku ini telah dibeli copyrightnya oleh DEPDIKNAS baik dari penerbit ataupun pengarang. Masyarakat dapat secara bebas memanfaatkan, menggandakan, bahkan memperjualbelikan dengan syarat –salah satunya- dengan harga sangat terjangkau.

Namun kenyataannya sulit mengharapkan kemudahan dan kemurahan ini. Khusus untuk kasus buku – buku paket dari sekolah Fauzan, mungkin kebijakan Buku Sekolah Elektronik ini hanya berlaku untuk sekolah negeri, sementara sekolah swasta di luar domain ini dan boleh menentukan kebijaksanaan sendiri.

Baiklah jika memang begitu. Namun seharusnya substansi bahwa mempermudah itu lebih bermanfaat, apalagi sekolah Fauzan sekolah Islam. Yang saya rasakan tidak begitu. Hampir setiap tahun buku paket yang digunakan selalu berbeda dari tahun yang sebelumnya. Padalah kalau saya perhatikan materi dan isinya tidak jauh berbeda. Jadi alasan mengikuti perkembangan jaman atau teknologi tidak tepat untuk diajukan sebagai dasar bergantinya buku paket tiap tahun.

Akibatnya, kami orang tuda mau tidak mau harus membeli buku paket tiap awal pelajaran. Meskipun tahun lalu kami juga membeli buku paket untuk kelas 6. Dari sekolah Fauzan, kami mendapat daftar buku paket yang harus disiapkan beserta daftar harga jikalau dibeli dari sekolah. Berdasarkan pengalaman tahun lalu, membeli buku di pusat eceren buku pelajaran di daerah senen lebih murah daripada membeli dari sekolah. Jadinya akhir pekan kemarin kami blusukan ke pasar senen mencari buku – buku itu. Hanya saja hanya ¼ dari total buku yang harus disiapkan dapat kami dapatkan di senen. Sebagian besar buku tidak bisa kami dapatkan karena : belum disupply penerbit, sudah habis, atau – ini yang aneh saya rasa – Sekolah tidak memberikan pengarang buku – buku itu. Yang ada hanya buku paket apa penerbit siapa. Ternyata sampai di toko buku, ketika kami minta buku ini penerbit itu, pemilik toko balik menanya siapa pengarangnya ? Karena untuk satu buku pelajaran yang sama dari penerbit yang sama bisa jadi berasal dari pengarang yang berbeda (ada dua jenis buku). Walah..mummet.

Rasanya kok beda banget repotnya mencari buku dibanding saya sekolah dulu. Dulu ketika saya SD – SMP, buku yang saya gunakan sebagian besar adalah ”lusuran” dari kakak kelas terdahulu. Kalaupun membeli paling 1 – 2 biji. Tetapi sekarang, rupanya semuanya dikomersialkan. Semuanya dijadikan peluang berdagang, oleh semua stakehloder yang mungkin terlibat dalam pendidikan Nasional.

Nikmatnya sebagai orang tua: Blakrakan blusukan untuk mencari dan menemukan sekolah yang sesuai, meskipun hanya tingkat SLTP Juli 11, 2008

Posted by Mujiono Sadikin in Yang Aku Jalani (Perjalanan), Yang Aku Pelajari, Yang Kami Kerjakan.
42 comments

Tahun lalu anak kami yang pertama, Ani, sudah menginjak kelas 6 SD. Artinya tahun ini selesai pendidikan dasarnya dan akan masuk sekolah lanjutan. Sebagai orang tua, apalagi di tengah kondisi jaman dan pergaulan seperti ini, kami sudah mulai memikirkan sekolah mana yang sesuai dan memenuhi kriteria setelah SD. Pikiran itu sudah dimulai sejak ia naik ke kelas 6. Satu hal yang dari awal kami sepakati adalah menyekolahkan Ani ke SMP yang berbasis Islam dan bersifat boarding. Biaya memang lebih mahal daripada SMP umum terlebih jika dibandingkan dengan SMP Negeri.

Namun terus terang kami ngeri dengan model pergaulan dan lingkungan kehidupan di Jakarta. Jangankan di luar rumah, di dalam rumahpun, kita dibanjiri informasi dan ajaran yang jauh dari bermanfaat. Acara telvisi dipenuhi oleh tayangan – tayangan yang sifatnya hanyalah komersial dan hiburan. Rasanya tanpa porsi pendidikan sama sekali. Dulu, saat di rumah hanya ada keluarga inti, kami sebagai orang tua masih bisa mengatur asupan hiburan dan informasi yang masuk ke rumah lewat layar kaca. Kami bisa mendisiplinkan bahwa tidak ada TV menyala di luar hari libur saat anak – anak belum tidur. Ini cukup efektif untuk memfilter informasi sampah yang masuk ke rumah.

Tetapi sekarang, ada mbahnya anak – anak di rumah. Tayangan sinetron saat prime time adalah menu utama beliau. Dan kami tidak kuasa mengatur embahnya. Maklum semakin tua usia seseorang, kelihatannya semakin mudah tersinggung. Entah karena saya yang tidak tahu tata krama dalam meminta orang tua agar tidak nyetel sinetron dan tayangan gossip yang lain atau karena rasa sensitif itu, orang tua menjadi tersinggung dan menyangka kami pelit. Ya..sudahlah akhirnya kami yang mengalah. Akibatnya anak – anak terbiasa dengan tayangan – tayangan sampah seperti itu. Dan Hafiz, si anak TK itu suatu saat tiap hari nyanyiannya “O…o..kamu ketahuan…pacaran lagi..” dan seterusnya. Ini baru akibat informasi sampah yang masuk ke rumah, belum lagi pergaulan dan asupan informasi di luar rumah.

Maka usaha yang kami lakukan sekarang adalah “menyingkirkan” anak – anak dari lingkungan seperti itu dengan menyekolahkan mereka ke sekolah boarding berbasis Islami.

Mulailah kami mencari informasi tentang SMP-IT yang baik tetapi masih dalam jangkauan kemampuan. Desember tahun lalu ketika Ani baru menginjak awal semester genap kelas 6, kami sudah mulai survey ke calon sekolah yang sekiranya memenuhi syarat versi kami. Kami survey ke Bogor, Cianjur, Sukabumi. Sampai akhirnya kami mendapati SMP-IT Al Kahfi di perbatasan Bogor – Sukabumi yang masuk dalam wilayah sukabumi. Menurut kami baik dari sisi fisik maupun kualitas pengajaran SMP-IT ini sangat bagus. Ringkasnya kami daftar ke Al Kahfi awal Januari lalu dan ujian masuknya tanggal 22 Pebruari. Ternyata memang SMP-IT ini bagus, terlihat dari animo yang mendaftar cukup banyak dibandingkan dengan daya tampungnya. Dari sekitar 450an peserta yang mendaftar yang diterima hanya 215 santri.

Ani, dasarnya memang cuek. Setiap saya baca saran gurunya di rapot saat semesteran, saran itu tidak jauh dari agar ani mengurangi rasa cueknya. Terakhir saran gurunya yang saya baca adalah “Ani sayang, kurangi sedikit dong cueknya. Kalau mau sukses tidak cukup bermodalkan otak encer”. Menghadapi ujian masuk Al Kahfi pun dijalani dengan cuek secuek – cueknya. Tanpa persiapan dan tanpa perasaan apa – apa. Saat memasuki ruangan ujian, kami masih berharap dia mau serius dan berusaha agar dapat lolos. Kami menunggui Ani ujian sekitar 3 jam. Jam 12 kurang, ujian sudah selesai. Setelah tanya bagaimana ujiannya tadi, rasa khawatir mulai merasuki perasaan. Sikap cuek semaunya sendiri tercermin. Dia cerita, salah satu ujian mate matika yang dia tebak jawabannya kurang lebih seperti ini “Pak Haji memanen padi 10 kwintal. Pak Haji lalu mengeluarkan zakat 2.5% dari hasil panen. Berapa padi Pak Haji yang dizakatkan?”. Ketika tanya kenapa kok Ani nebak – nebak ?

Dengan enteng dia jawab “Iya Mbak Ani nebak, tapi pakek mikir”.

“Loh nebak kok pakek mikir ?”

“Iya P haji ini kayaknya pelit jadi nggak mungkin kasih zakat banyak – banyak, jadi mbak ani pilih yang paling sedikit”.

Walah mau marah tapi ingin ketawa. Mau ketawa kok rasanya malu melihat metoda
anak kami dalam menjawab. Setelah itu perasaan jadi khawatir, rasanya Ani tidak akan lolos dan kami harus siap – siap mencari SMP-IT boarding yang lain. Benar saja Ani tidak lolos. Syukurnya sepupunya lolos, jadi beban sedikit berkurang.

Selanjutnya dimulailah petualangan kami mencari sekolah sesuai keingininan. Saya mulai dengan googling, tanya ke teman – teman lewat email, dan seterusnya. Berbekal brosur dan informasi lisan dari teman – teman lain, setiap akhir pekan kami berburu SMP-IT boarding. Mulai dari Fathan Mubina di Bogor, Albinaa Karawang, Darul Fikri, Bekasi, dan beberapa lagi yang tersebar di Depok, Bekasi, Karawang, Cianjur kami datangi, kami survey. Juga beberapa pesantren di dalam Jakarta.

Akhirnya sampailah kami di SMP-IT Al Mutazzam Kuningan Jawa Barat. Melihat fisik bangunan dan usia Sekolah Islam Terpadu (dari tingkat SD, SMP, SMA) di situ, InsyaAllah kualitasnya baik dan rasanya tidak berbeda jauh dengan Al Kahfi. Tempatnya memang jauh dari Jakarta, 4 jam perjalanan tanpa istirahat. Kami daftarkan di sini. Mengingat kasus ketidaklolosan di Al Kahfi yang lalu, kami merasa was – was Ani tidak akan bisa lolos ujian lagi. Karenanya selain Al Mutazzam, kami daftarkan juga di SMP-IT lain. Di SMP-IT yang lain ujiannya lebih dulu. Tanpa kesulitan Ani lolos dengan nilai rata – rata 8.4/10. Kami sedikit heran, kalau dia mau harusnya bisa. Di Al Kahfi passing grade nya hanya 6.5, harusnya dia bisa kalau mau. Tapi ya sudahlah, mungkin dia memang lagi kumat cueknya.

Dua minggu setelah ujian pertama itu, dia ujian di Al Mutazzam. Mengingat saingannya cukup banyak, panas dingin juga kami menunggu hasil ujiannya. Apalagi di sini ujiannya dua hari. Hari pertama ujian Bahasa Inggris dan Psikotest. Hari kedua Matematika, Sains, dan Bahasa Indonesia. Ujian hari kedua selesai jam 12 siang dan rencana pengumuman jam 2 siang. Maka kami harus menunggu dulu. Jam 2 siang pengumuan belum keluar, dan baru keluar jam setengah empatan. Saya sendiri tidak melihat karena ketiduran di masjid Ikhwan sekolah itu. Ibunya yang berdesak – desakan di papan pengumuman melihat hasil ujian. Alhamdullillah Ani lolos. Lega rasanya, saking leganya ibunya sampai menangis.

Akhirnya Ani mendapatkan sekolah yanag InsyaAllah sama – sama kami (saya, istri dan Ani sendiri) inginkan. Sekarang dia sudah mulai mondok sekitar 3 minggu yang lalu. Kamipun merasa kehilangan dan ada yang hilang di rumah. Buatnya, ‘perpisahan’ ini kelihatan sangat terasa. Belum genap 1 minggu sudah merengek – rengek minta dijenguk, dengan segala keluh kesah suasana pondokannya:makanannya cuman sedikit, belum dapat bantal, sudah dua pasang pakaiannya yang hilang, dan seterusnya. Tetapi kami tidak boleh larut dengan perasaan sentimentil seperti ini. Mudah – mudahan ini jalan yang baik buat kami semua.

Sebenarnya bisa saja kami tidak perlu repot – repot blakra’kan dan blusukan ke pelosok – pelosok sekitar Jakarta untuk mencari sekolah. Dengan rata – rata Nilai UASBN 8.32, dan segala kecuekannya, Ani bisa masuk SMP Negeri favorit terdekat.

Tugas dan kewajiban sebagai orang tua terus berlanjut. Tahun ini Hafiz dan Ani sudah mendapatkan sekolah. Tahun depan giliran Fauzan untuk masuk SMP, proses dan usaha yang sama untuk mencari sekolah SMP akan kami lakukan lagi saat itu.